It's all About Us, Now & Forever
“Ri, pindah ke kamar aja, ya? Kita ngomong baik-baik di dalem.” Pelan suara saya memohon pada Mentari malam itu. Hampir sepuluh menit ia menelungkupkan mukanya di meja, dan terus menggigau—memanggil mendiang ayahnya sambil menangis.
“Papa... Riri mau ikut Papa... Riri mau sama Papa,” lirih parau.
“Ri.” Saya berbisik, “Maaf kalau saya cuma bisa nyakitin kamu, saya salah. Kata-kata saya selalu ngelukain kamu, maafin saya, Ri.”
”...Jangan pergi, Ri. Please?” bujuk saya seraya membelai puncak kepalanya.
“Riri mau ketemu Papa...” Tangisnya kembali pecah, bahkan terdengar sangat memilukan. Saya jarang sekali melihatnya mengiggau sampai tak sadarkan diri seperti ini. Kata Erna, seharian penuh Mentari mengerjakan semuanya sendirian begitu ia tiba di rumah. Saat Erna ingin membantu, Mentari justru menyuruhnya beristirahat. Aidan juga berpendapat yang sama. Dia benar-benar mengurus saya sendirian tanpa meminta Erna membuatkan ini-itu untuk saya.
“Ri, saya gendong aja ke kamar ya, tidur di sebelah saya, biar belakangnya gak sakit,” ucap saya sambil perlahan-lahan menggendongnya ke kamar.
Setibanya di sana, saya langsung membaringkan Mentari di kasur dan ikut rebahan di sampingnya. Wajah Mentari tampak begitu pucat, garis matanya menghitam. Mungkin karena ia lelah menghadapi saya. Dan tentu hal itu membuat saya benar-benar dilingkupi rasa bersalah. Telapak tangannya yang semula sangat lembut, mulai terkelupas dan terasa kasar. Lagi-lagi pasti karena ia menenggelamkan kesedihannya lewat pekerjaan rumah. Padahal sudah saya bilang, dia tidak boleh mengerjakan pekerjaan Erna. Tapi Mentari si keras kepala ini akan tetap melakukannya meski saya melarang.
“Papa...” racaunya tiba-tiba, tubuhnya memutar menghadap saya dan tanpa sadar ia menyelipkan tangannya sendiri ke sela-sela lengan saya. Entah apa yang ia sedang mimpikan hingga berkali-kali menyebut ayahnya. Yang saya tahu dari Dhea, Mentari memang sangat dekat dengan mendiang ayahnya. Dan mungkin hal ini menjadi alasan utama Mentari mengapa ia ingin saya memperbaiki hubungan saya dengan Aidan.
“Jangan gitu sama Idan, Mas Jordy. Dia sayang banget sama kamu, role modenya dia tuh kamu. Kalau kamu keras sama dia, nanti besarnya dia jauh sama kamu. Dia cuma mau diperhatiin sama kamu.”
Selalu kata-kata itu yang muncul dalam kepala setiap saya selesai menegur Aidan dengan keras. Hari ketika Aidan dipanggil oleh Kepala Sekolah, Mentari menjelaskan semuanya pada saya. Apa yang membuat Aidan begitu marah pada Gallen dan teman-teman nakalnya itu. Mentari tidak marah sama sekali, walau saya bisa melihat ada kecewa serta rasa sakit yang terpancar dari binar matanya, ia tetap menjelaskannya pada saya dengan tenang dan lembut.
Meski waktu itu kami bertengkar hebat, Mentari mengetuk pintu kamar saya saat dini hari. Ia mengajak saya berbicara empat mata—mengenai hal itu. Tutur bicaranya yang lembut serta ketulusannya dalam mengurus Aidan membuat saya mengerti kenapa Jenan mati-matian menantang saya. Dia tidak menyerah untuk memenangkan hati Mentari. Tapi saya tahu meski Jenan berusaha keras, Mentari tidak akan pergi dari saya.
Saya dengar sendiri Mentari meminta Jenan untuk berhenti mengirimkannya pesan-pesan penuh perhatian. Dia bilang bilang dia sudah menjadi istri saya, dicintai saya atau tidak, biarlah dia yang menghadapi semuanya sendirian.
Gosh. Kenapa saya begitu bodoh dan malah menyianyiakan perempuan setulus Mentari? Kenapa saya malah memanfaatkan dia? Rasanya saya ingin menampar wajah sendiri sekeras mungkin.
Seandainya saya tidak mengalami banyak masalah dengannya, mungkin hingga saat ini saya akan terus memanfaatkan Mentari. Tapi untung Aidan menampar pipi saya dengan keras barusan.
Papi sayang Idan, tapi Papi sayang Mamah nggak?
Dan jawabannya, Nak, Ya. Papi sayang sama Mamah. It's all about us, now and forever.