It's Okay if we're Apart
“Gin, kalo kita LDR, kamu nggak papa?”
Netra Regina yang tadi berbinar senang, lamat-lamat meredup tatkala Xavier melontarkan sebuah pertanyaan yang mengguncang seisi kepalanya.
LDR? Regina kira Xavier cuma membual, mengajaknya bergurau seperti biasa. Tetapi saat iris mata Regina menangkap raut serius dari wajah sang kekasih, dia akhirnya tahu kalau Xavier benar-benar akan jauh darinya.
Kedua sejoli itu sama-sama resah. Mereka saling melempar pandang ke arah berbeda, menyusun kepingan-kepingan perasaan tak menentu yang saat ini berceceran kemana-mana. Tak punya tujuan pulang.
Nuansa canggung seketika menyerbu kedua insan ini. Kaitan tangan Xavier yang biasa berada di sekat jari Regina, terlepas begitu saja, membuat perempuan itu merangkai simpulan buruk nan fana, yang cuma ada dalam kepala.
Daksa Xavier mengering, pertanda jika lelaki itu amat sangat pening kala ia berhasil mengutarakan tujuannya hari ini. Mengenai impian terbesarnya sejak dia masih kecil, merancang gedung tinggi, membangun rumah dengan desain apapun yang ia suka, sampai memiliki firma arsitek sendiri.
”...LDR?” Bibir kelu Regina bahkan hanya mampu mengatakan sepatah kata itu. Dia tertawa, namun bukan surai bahagia yang ia perlihatkan, melainkan muram dan sendu.
“Iya.” Xavier mengiyakan, menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. “Babe...” Kepala lelaki itu tertunduk.
Kepala Regina kini dihujani pertanyaan yang berselimut keraguan. Sebab belum lama ini, masalah kepercayaannya dipatahkan hingga ia sempat menutup pintu hati. Bahkan berada di kota yang sama saja, tali dapat terputus, lantas bagaimana dengan jarak yang membentang? Mampukah mereka bertahan?
“Well, Sayang,” lelaki itu berujar lembut, berusaha menekan kalut yang menyusuri benak Regina. “Nggak sekarang. Agustus akhir, atau awal September. So, we still have times to meet each other,” ucapnya kemudian, tangan Xavier meraih lagi lengan sang kekasih, dibawanya ke dekat dada, lalu dikecupnya punggung tangan Regina.
Ia mengedarkan pandangannya kepada sang puan, menanti tanggapan atas perkataannya barusan.
“Maaf ya, Xav. Gara-gara ini kamu pasti kepikiran banget ya?”
Diluar dugaan seorang Xavier tanggapan Regina justru meninggalkan rasa bersalah bertubi-tubi di benaknya. Matanya belum terlepas dari kedua manik mata indah milik perempuan itu, “I'm not trying to deceive you. I just lost, or maybe I'm too afraid.”
Helaan nafas yang berhembus dari bibir Xavier terdengar amat berat. Tampaknya lelaki itu berpikir ribuan kali untuk memberitahu Regina. Dan ya, Regina tak menampik jika dia juga belum mau berpisah. Namun, seperti yang selalu Regina tanamkan dalam pikirannya, jika Xavier berhak terbang bebas, mewujudkan mimpi-mimpi dan asa yang selalu dia dambakan. Akan jauh lebih egois jika Regina melarang lelakinya itu pergi.
Dan bukankah dia pernah berkata demikian pada Xavier sebelumnya?
“Aku nggak akan kenapa-napa, Xav. Just go. Reach your dream. Bikin bangga Tante Lingling, Ci Anna, dan Koko.”
Nada tegar terdengar jelas dari tutur bicara Regina, dia tersenyum tulus pada Xavier.
“Serius?” tanyanya keheranan. Karena yang ada dalam bayangan Xavier justru tak terwujud. Dia takut Regina akan menangis, melarangnya pergi. Tapi lihat, betapa perempuan itu tampak bangga dengan prestasi Xavier. Ia mungkin tahu jika mendapat beasiswa pasti tak mudah.
“Iya, nggak apa-apa, Jojo. Kamu pinter, kamu ganteng. Sayang kalau kamu gak jadi 'orang.' Jangan kayak aku yang payah.”
“Noooo.” Xavier menempelkan ibu jarinya pada bibir lembab gadisnya. “Aku udah bilang sama kamu, Babe. Jangan biarin kondisi kamu ini ngalangin semua yang kamu impikan. Kita berjuang sama-sama, ya?”
Regina menebar senyum pada sang kekasih, menahan tangis sekuat tenaga sambil berkata lirih dalam hati, I'm so sorry, Jojo. I'm sorry if I choose another way.
—