Jalan Tengah
Xavier dari bangku pengemudinya tiba-tiba mengerem mendadak, kala ia menyaksikan air mata mengalir dan membasahi pipi perempuan yang ia sayangi. Mendapati Regina terdiam dan mengusap wajahnya gusar, ia mengambil suatu keputusan untuk melipirkan mobilnya di tepi jalan.
Sepi dan Sunyi
Agar perempuan itu dapat mengusap semua kesedihannya, melarungkannya ke langit. Xavier diam, bukan berarti ia tak mengerti apa yang dialami oleh Regina.
“Kok lo berhenti, Xav?” Ditengah tangisnya, rupanya sang puan menyadari apabila Xavier menghentikan mobilnya. “Jalan aja.” Perempuan itu kembali bersuara dengan suara parau. Tetapi Xavier tidak memedulikannya. Ia ingin perempuan itu betul-betul menuangkan kesedihannya, meluapkan semua luka hatinya sampai ia puas.
“Serius, jalan aja, Xav. I'm fine.” Mendengar betapa lirihnya suara perempuan itu, makin menguatkan tekad Xavier untuk menetapkan mobilnya di situ.
“Jalan aja...” Suara perempuan itu kian lama terdengar sesak. Bisa Xavier bayangkan betapa hancurnya hati perempuan itu saat ini. Sedari tadi, meski mereka tak banyak mengumbar kata, ia tahu perempuan itu sedang mempertaruhkan laki-laki bajingan yang tengah menyimpan rahasia busuknya.
Xavier sebenarnya juga sama. Ia mempertaruhkan dirinya untuk tutup mulut. Ia tidak ingin makin memperkeruh suasana apalagi ikut campur dengan urusan mereka, meski ia tahu akibatnya akan seperti ini. Oleh karenanya, Xavier hanya berucap dengan suara tenang.
“Selesein aja dulu. Biar lo lega. It's okay to cry.”
Perempuan itu langsung mendesah, raut wajah sendu yang tadi ia sembunyikan mulai terlihat. Dan isakan-isakan yang menyesakkan dada mulai terdengar. Sama seperti perempuan itu, Xavier pun sama. Bedanya ia sesak karena harus menahan emosi yang berkepanjangan. Tangannya gatal untuk memukul laki-laki bajingan itu, akan tetapi ia tak ingin bertindak gegabah.
“Gue udah lama tau...” isak Regina pelan.
”...Gue udah lama tau, Xav. Biel...selingkuh.”
Dang! Dia pikir Regina adalah perempuan bodoh nan lugu dan mudah ditipu. Nyatanya Regina benar-benar menyimpannya sendirian. Entah mengapa Regina malah membiarkan laki-laki bernama malaikat itu menginjak dirinya sampai sesakit ini.
“Terus, kenapa lo diem aja?” tanya lelaki itu.
“Gue takut kehilangan Biel. Gue sayang sama dia, Xav. I thought he would change. But I was wrong.”
“Cara lo salah, Gin.” Tidak ada maksud menghakimi Regina dari kalimat Xavier yang terasa kelu itu. Ia hanya ingin memberitahu Regina jika sebaiknya ia menghentikan hubungan yang sudah rusak itu. Tidak ada gunanya untuk ia perbaiki.
“Gue kira masih bisa gue perbaikin. Tapi ternyata makin parah. Dan sakit.”
Regina kembali berkata, namun kali ini tangisnya sudah berhenti walau sakit itu masih mengerubungi benaknya. Ia sampai kehilangan arah, pasrah dan lebih gilanya lagi Regina memilih benang kusut itu dibandingkan benang lurus.
“Gue salah,” ucapnya putus asa.
“Lo nggak salah, Gin.” Xavier menyanggah. “Yang salah cowok lo. He cheats on you.”
“Bukan itu maksud gue,” sela Regina.
“Yang salah gue. Gue terlalu banyak menuntut lebih. Gue terlalu sering ngebebanin dia, gue manja, gue terlalu bergantung sama dia. Gue salah...”
“Gin, lo pernah bilang sama gue, kalo gue boleh minum, tapi jangan sampe mabok, kan?” ujar Xavier. Perempuan itu menoleh tak paham.
“It's same. You can love him as much as you want. But once he hurts you, you should stop. He has gone too far.”
Regina terdiam. Untuk saat ini ucapan Xavier itu benar namun pada waktu yang bersamaan cukup memberi tamparan keras bagi Regina. Ia sadar dan tahu jika perbuatannya salah. Ia menyembunyikan kebusukan Gabriel pun salah. Dan ia membiarkan lelaki itu menyakitinya juga salah. Tapi entah mengapa setiap kali Regina ingin mengambil jalan tengah, ia selalu takut.
Takut salah melangkah, takut Biel pergi. Takut Biel tidak kembali padanya.
Dan kenyataannya benar.
Lelaki bernama Gabriel itu tidak kembali kepadanya melainkan ke peluk perempuan lain yang mungkin saja jauh lebih hangat dari peluknya.
“Xav, sori ya lo jadi ngeliat hal-hal yang gak semestinya lo liat. I'm really sorry kalau waktu itu Biel ngegeber lo. You don't deserve that.”
Xavier menganggukkan kepala, dan dalam hati ia menambahkan. “You don't deserve him too, Gin.”