Pengabdi Jordy

“Jenan? Pulang cepet?”

Sepengetahuan Jordy, Jenan adalah sosok lelaki workaholic—sama seperti dirinya. Terlebih setelah bercerai dari Elsya, istri ketiganya, Jenan benar-benar penganut pantang pulang sebelum bonus cair. Namun saat Teza datang dan bersantai ria di ruangannya, lelaki itu memberitahukan padanya, jika the most wanted duda yang satu itu, mulai berubah pikiran.

“Biasalah, Jor,” gumam Teza, menyalakan puntung rokoknya, lalu menghisapnya dalam-dalam. “Jenan lagi puber ke lima belas kalinya.”

“Dia tiap hari juga puber kali, Tez.” Jordy mencibir, ikut menghisap rokok malboro merahnya. Keduanya sedang berdiskusi tentang anggaran yang dibuat oleh para PA masing-masing untuk pembuatan Web Series Delana Cintaku Season 2. Jordy sibuk mengecek timeline produksi, sedangkan Teza fokus pada jumlah biaya yang dikeluarkan. Seharusnya Jenan hadir dalam kalkulasi ini. Sebagai seseorang yang pernah bekerja di kantor konsultan, Jenan bertindak sebagai penasihat mereka. Eh, tanpa disangka orangnya justru mangkir.

“Budgetnya oke sih ini,” kata Teza dari balik MacBook-nya. Jordy mengangguk setuju. “Kemaren pas kelar syuting itu, ada biaya tambahan lagi nggak, Tez?” tanyanya kemudian.

“Enggak ada. Aman. Kerusakan juga gak ada kata tim Genta,” beritahu Teza. Jordy mengangguk paham sembari bangkit dari kursi kebesarannya. Ia melipir menuju jendela kantor, dan membukanya sebentar untuk menghirup udara segar. Kepalanya sedikit melongo ke bawah, dan ia melihat Jenan tengah berdiri di sebelah mobilnya sambil bermain ponsel.

“Tuh, Jenan,” lirik Teza dari samping. “Si tai! gue liat-liat sekarang gayanya sok muda banget. Segala pake topi ke belakang,” sungut Teza terkesan tak terima.

“Nih kalo begini gayanya dia, udah pasti lagi ada yang diincer sih,” tandas Jordy menggelengkan kepala. Mereka berdua tidak heran pada Jenan. Sejak berpisah dengan Elsya, Jenan memang dikenal sebagai Don Juan yang hobi menebar tebar pesona. Dan sasarannya pasti anak-anak baru di kantor. Dulu, ada Adelia dari divisi sekertaris produksi yang ternyata kebaperan akibat terlalu sering diajak dinner date. Kemudian ada juga Joanna, dari divisi Finance, serta Michaela dari divisi Business Development. Tiga bidadari tak bersayap itu sukses jatuh dalam peluk Jenan hanya lewat jentikkan jari. Jenan hanya perlu waktu dua minggu untuk membuat mereka saling menyindir di status Whatsapp.

Jordy dan Teza yang pada saat itu cuma mendengar gosip seliweran, awalnya sempat menggubris berita itu. Mereka kira anak-anak kantor membual, tak tahunya, Joanna dan Adelia bersekongkol untuk menjatuhkan Michaela karena tak terima Jenan jalan bareng Adelia di belakang mereka.

“Sekarang siapa nih korban selanjutnya?” ujar Teza tertawa puas.

“Nggak tahu gue,” sahut Jordy sembari kembali ke kursinya. “Eh, bentar,” celetuk Teza dari kursi tamu di ruangan Jordy.

“Tadi gue lewat meja resepsionis, tumben anak kesayangan lo udah pulang. Baru juga gue mau kangen-kangenan,” canda Teza.

Yang diajak bicara melirik jam tangan mahalnya, memandangi jarum jam yang bergeser ke arah kanan. Cukup awal bagi seorang yang berperan penting di kantor ini untuk pulang. Baru pukul tujuh lewat lima belas menit, dan resepsionis sudah berani meninggalkan meja? Jordy tersenyum dingin, merasa menemukan sesuatu yang janggal pada karyawannya itu.

“Cabut?” tanya Teza terheran melihat Jordy begitu tergesa membereskan barang-barangnya. Padahal seharusnya Jordy mengecek surat pengajuan kerja sama sebuah film pendek.

“Jor, ini gak lo periksa dulu?” Teza berlari kecil mengejar Jordy.

“Besok pagi aja,” tolak Jordy yang sudah berdiri di ambang pintu.

“Tumben,” gumamnya heran. Lelaki berhidung mancung itu akhirnya turut menyusul Jordy, meninggalkan kantor sambil berimbuh dalam hati, Jordy sejak kapan keluar lewat lift lobby? Bukannya dia selalu turun ke basement?

Perempuan itu mengatur nafasnya terlebih dahulu setelah berebutan masuk dengan beberapa karyawan yang juga ingin pulang tenggo, mengingat besok adalah harpitnas. Ia berdiri di depan pintu lift yang belum ada lima menit terbuka, menghamburkan beberapa karyawan yang didominasi perempuan bertubuh langsing dan memakai heels serta dress ala-ala seleb korea. Pandangan perempuan itu sontak tersapu pada mereka. Iri dalam hatinya meluap, ingin sekali memutar waktu. Bisa memakai pants, crop-tee seperti perempuan-perempuan cantik tadi. Sayang sekali kini tubuh tambunnya tak memungkinkan dia untuk memakai pakaian haram seperti itu. Kini perempuan itu cuma bisa meratapi bentuk tubuhnya yang menyedihkan.

“Mbak, bisa minggiran gak ya? Saya buru-buru nih,” tegur seseorang dari belakang. Ia sontak menengok.

“Maaf Mb—”

“Udah gendut, gak sadar diri pula, heran! Ganggu aja sih–”

Ting!

Pintu lift terbuka lebar. Mempertemukan perempuan itu dengan sosok laki-laki yang belakangan ini selalu merepotkan dirinya. Lelaki itu lurus-lurus mematrikan pandangannya pada sang puan. Namun terhalang akibat ulah seorang karyawan yang barusan melontarkan ucapan tak mengenakkan itu.

“Eh, Pak Jordy. Kok tumben, Pak lewat lift karyawan?” Karyawan itu bertanya basa-basi, mengibaskan rambutnya hingga tak sengaja mengenai wajah sang puan.

“Buru-buru. Mobil saya di depan,” sahut lelaki itu. Ia melangkah acuh, melewati karyawannya, kemudian mempersilakan pekerjanya tersebut masuk ke lift. Sesudahnya, lelaki dengan surai hitam kecoklatan itu membalikkan dirinya agar bisa berhadapan dengan sang puan.

“Permisi, Pak. Saya juga mau pulang.” Perempuan itu sadar betul jika seharian ini, atasannya tersebut tiada henti memintanya membuatkan sesuatu, yang menurut sang puan bukanlah ranahnya. Terkesan aneh, tapi sayang sekali ia tak dapat berbuat banyak. Bagaimanapun juga lelaki itu yang menggajinya, dan membayar semua terapi sia-sia yang sedang ia jalani. Alhasil, ia juga harus bersikap sama seperti pegawai lainnya. Apapun titah sang bos, ya harus dijalankan.

“Emangnya gojek atau grab bisa masuk lobby?” Ditanyai bagai diinterogasi, perempuan itu terpaksa menyetop langkah kakinya.

“Bikin peraturan sendiri kamu?” Dalam hati, sang puan sudah menjerit kesetanan. Ia hanya ingin acara netflix and chill yang telah ia damba-dambakan tidak batal lagi. Di depan, lelaki lain sedang menunggunya. Ia adalah sosok laki-laki yang menjadi impian semua wanita di kantor ini.

“Enggak, Pak, maaf.” Terpaksa perempuan itu tersenyum kecil. “Saya mau pergi,” tuturnya kemudian, lengkap dengan gesture penuh sopan santun ala perempuan keraton. Menunjuk pintu dengan jempol.

“Udah ditunggu, Pak di depan. Nggak pake grab kok,” jelasnya dengan harap atasannya ini berhenti menginterogasi.

“Renjana kan udah balik,” gumam lelaki itu datar yang membuat sang puan sedikit bertanya-tanya, sejak kapan atasannya ini menjadi seseorang yang begitu banyak bicara kepadanya, bahkan hafal dengan siapa perempuan ini sering menghabiskan waktu.

Ia tersenyum tipis, “saya perginya buk-” Perempuan itu seketika tersadar jika hampir saja ia mengubur diri sendiri dengan memberitahu siapa sosok yang mengajaknya pergi malam ini. Sosok itu telah berpesan sebelumnya agar ia tidak buka mulut. Maka saat atasannya tak lagi mengajaknya bicara, buru-buru ia berpamit diri, “Pak, saya buru-buru banget. Duluan ya, Pak..”

“Mentari,” lelaki itu justru tak menggubris pamitannya.

“Ya?” sahut sang puan setelah berkali-kali mengelus dada.

“Semua yang kemaren Suryo dan ibu kamu minta, sudah saya lunasin.”

Perempuan itu mendesah pelan. Sebenarnya ia benar-benar tidak ingin seorangpun terlibat dalam masalah keluarganya. Apalagi, orang yang ia geret tanpa sengaja merupakan sosok asing yang semestinya tak perlu tahu sedalam itu tentangnya. Mau malupun, nasi sudah menjadi bubur. Atasannya ini telah menjadi saksi kunci rahasia kelam keluarganya, dan karenanya kini perempuan itu harus kembali terlingkar pada problematika yang sama.

Kembali mengabdi diri pada lelaki.