Jenan menggelengkan kepala saat ia tak sengaja melihat Jordy menanggapi ucapan Gabriella dengan anggukan. Amarahpun membubuh di benak lelaki berkulit putih pucat itu. Ia mendelik tajam pada Jordy dengan rahang mengeras. Namun laki-laki yang ia pandangi justru asyik mengobrol dengan beberapa teman mereka.

Fokus Jenan akhirnya teralihkan pada Mentari. Perempuan itu sedari tadi menunduk lesu, binar wajah kecewa terpancar dari parasnya. Jika saja Jenan memiliki secuil keberanian, maka Jordy akan habis di tangannya malam ini juga. Sayang, Jenan cuma bisa merutuk dalam hati, memaki Jordy, mengatainya bajingan kelas kakap sambil sesekali ia melirik Mentari yang berusaha keras menahan tangis.

“Maaf Kak!” Gabriella memukul mulutnya sendiri.

“Aku kayaknya terlalu kebiasaan liat Kak Jordy sama almarhumah Mba Kirana... Nggak maksud buat gimana-gimana kok.” Jenan mendengus saat Gabriella menyampaikan rasa penyesalannya. Bahkan tanpa Jenan ungkapkan, senyum wanita muda itu terasa sangat palsu. Bukan Jenan tak tahu jika Gabriella ini, dulunya adalah anak emas di sekolah model yang Kirana miliki. Prestasi gemilang Gabriella teraih karena Kirana turun langsung membimbingnya. Maklum, ayah Gabriella memang berteman dekat dengan ayah Kirana. Tentu Jenan yakin ada nepotisme yang terjadi di dalamnya.

Saat Jenan mendapat celah untuk berdiri dekat Mentari, lelaki itu berbisik pelan. “Lo cantik banget, Ri.”

Jenan memuji Mentari tulus, mata bulan sabit perempuan itu melebar. Ia nyaris tak dapat mengatupkan mulut saat Jenan berkata demikian. Ketika Jenan balas memandangnya, Mentari seperti kebingungan dan ketakutan. Lantas, acuannya kembali tertuju pada bosnya sendiri. Apa yang telah Jordy perbuat sampai Mentari sepanik itu? Pikirannya memburu, namun lagi-lagi Jenan sadar, batasnya tak lebih dari sekedar sahabat. Walau ia berikrar pada Mentari untuk menjaganya, Jenan tak mau melewati batas. Ranahnya di sini cuma sebagai orang luar, meski satu tangan Jenan mulai terkepal.

Bayangkan. Saat memasuki gedung, Jordy bahkan tidak menggandeng Mentari. Pantas para wartawan berspekulasi. Jangankan wartawan, siapapun yang menengok ke pasutri itu akan ragu jika mereka menikah atas dasar cinta.

Ketika mereka tiba di dalam gedung, Mentari, Jordy serta Jenan duduk bersebelahan. Mentari menempati posisi di tengah, diapit olehnya dan Jordy. Masih dalam diamnya, Jenan tak melepas tatapannya dari perempuan itu. Raut muka sendunya belum berubah. Dari dugaan Jenan, Mentari hanya ingin mencoba menyesuaikan diri dengan pergaulan suaminya, tapi Jordy si berengsek itu tidak memberi Mentari kesempatan. Yang ia lakukan hanya sibuk berbincang dengan beberapa aktris senior. Mengenalkan Mentari pada rekannya pun Jordy seakan ogah melakukannya.

“Ri, udah isi belum?” Jenan sontak mendelik pada Teza. Pertanyaan itu terlalu kasar bagi Mentari apabila ia tanyakan. Tanpa banyak bicara, Jenan menginjak kaki Teza hingga ia meringis kesakitan.

“Anjing lo ya!” maki Teza dengan segera.

“Lo yang anjing,” umpat Jenan dengan raut mengeras. Mentari memandang Jenan dan Teza secara bergantian dengan muka bingung.

“Suaminya juga bukan lo, jadi lo yang protektif. Sadar, Je. Istri orang itu,” bisik Teza menahan kesal.

Jenan menghardik ucapan Teza. Dia tak peduli mau seberapa banyak orang mengecam perbuatannya, tapi Jenan tak terima perlakuan Jordy pada mataharinya.