Jenan Sang Penakluk Vs Jordy Sang Pencemburu

Ternyata tak banyak yang berubah dari kantor Jordy sesaat aku menginjakkan kaki di sana. Ruang kaca transparan, aroma pengharum ruangan yang didominasi zat kimia begitu kental tercium kali pertama aku masuk ke sana. Disambut oleh Budi, satpam sekaligus security andalan PH milik Jordy, aku memasang senyum semu ketika Budi menyoroti bentuk tubuhku yang semelehoy ini.

Budi memandangku heran, entah ia lupa siapa aku atau dia sedang terkaget-kaget melihat perubahan fisikku. Lantas aku menyapanya seperti biasa, “Pagi Mas Budi!” Aku menepuk pundaknya pelan. Dia terangkat bagai tersadar dari hipnotis.

“I-ini, Mbak Mentari??” Ia melongo.

“Iya, Mas Budi. Siapa lagi?” aku menyahut seceria mungkin.

“Astaghfirullah, saya pikir orang lain. Gemukan ya sekarang. Gak apa-apa, lucu,” imbuhnya dengan senyum tulus. Akupun luruh setelah ia memujiku.

“Udah lama banget nggak keliatan, Mbak. Saya sampe kira ada orang baru,” kekehnya sembari menutup pintu.

“Bisa aja nih, Mas Budi,” gumamku usai pamit kepadanya.

Sejurus kemudian, kuletakkan tas di rak bagian dalam meja resepsionis. Tempat paling aman untukku menyimpan berbagai senjata penahan lapar. Karena...sejak bobot tubuhku melonjak naik, isi tasku yang tadinya lipstik dan bedak kini berganti menjadi permen-permen dan kacang atom kecil. Bahkan tidak hanya itu, aku juga membawa kaus ganti karena aku gampang kegerahan. Tak lupa sajadah untuk shalat.

Usai memastikan mejaku bersih, aku mulai bekerja seperti biasa. Menyapa beberapa Budak Jordy yang memandangku sinis karena bentuk tubuhku tak lolos SNI mereka. Juga, aku membuatkan kopi untuk Jordy dan meletakkannya di ruang kerja. Setelahnya aku kembali ke meja, melaksanakan tugas negara dari para pejabat kantor.

Lima menit kemudian aku berkutat pada berkas-berkas ekspedisi yang mesti kuantar hari ini. Karena Udin, yang biasanya menggantikanku sedang cuti. Istrinya melahirkan. Jadi mau tidak mau aku harus meninggalkan kantor, mengantar beberapa equiptment ke lokasi syuting.

“Pagi, baru ya?” Sebuah suara baritone menghentikan pergerakanku bekerja. Bolpoinku terjatuh saat kuarahkan tatapanku pada seorang lelaki yang amat familiar bagiku. Lelaki yang beberapa jam lalu tiada henti mengajakku berangkat bersama setiap pagi. Sang Prince Disney, Jenan Syailendra.

Aku tersenyum kelu saat ditanya. Ternyata bagi sebagian orang bentuk tubuhku ini benar-benar mengubah impresi orang ya? Buktinya Jenan. Dia sama sekali tidak mengenaliku.

“Hello?” Jenan mengibaskan tangannya di depan mukaku. “Mana Mentari? Lo baru? Kok gue gak dikasih tau?” tanyanya terdengar kesal.

“Sa....” Belum sempat aku menjawab pertanyaan Jenan, kulihat Jordy menyambar dari belakang. Satu tangannya bertumpu di meja resepsionis. “Kopi saya udah?” tanyanya tanpa basa-basi. Aku mengangguk.

“B-bentar,” timpal Jenan bingung. “Jor, lo kok gak bilang kalau Mentari lo pecat? Lo ganti sama yang ini?”

Entah mengapa mendengar Jenan berkata seperti itu, sedih dalam hatiku membuncah seketika. Aku langsung menyimpulkan jika ajakannya nonton bioskop bersama, makan di apart-nya hanyalah bualan semata. Sama seperti kebanyakan jantan di luar sana, Jenan sepertinya cuma menyukai perempuan karena fisik. Ya...aku sebenarnya bisa memaklumkan. Karena bagaimana mungkin makhluk se-sempurna Jenan dengan wajah macam Don Juan bisa jatuh sejatuh-jatuhnya padaku yang diibaratkan gadis buruk rupa?

“Dia?” Jordy melirikku. Jenanpun ikut memandangku. “Ya itu depan mata lo, segede ini, lo nggak liat?”

SEGEDE ini? Ternyata dia dan Jenan sama saja. Sama-sama makhluk berdarah dingin. Aku yang berdiri seperti orang tolol cuma bisa memaksa diri tersenyum sambil merutuki keduanya dalam hati.

“Lah emang?”

“Ya itu Mentari. Orang yang lo tagih-tagih ke gue, biar cepet masuk kantor,” katanya tersenyum tipis.

“Ah! Hahaha bercanda lo,” tepis Jenan tak percaya.

“Kopi saya sudah ada?” Jordy malah menanyaiku.

“Udah ada di ruangan, Pak.”

“Two shots, no sugar?” tanyanya seolah tak yakin aku menjalani perintahnya dengan baik.

“Iya, Pak Jordy. Silakan ke ruangan aja kalau emang gak percaya,” sahutku keki.

Jenan di sebelahnya tertawa simpul, “WAH! Kalo gini jawabnya beneran Riri sih.”

“Riri?” Jordy memandang Jenan dingin. Nih orang kenapa ya, sensi banget kalau ada orang yang memanggilku dengan nama 'Riri?' Padahal kan memang itu nama panggilanku.

“Ya kan emang panggilannya Riri. Amnesia lo?” ujar Jenan menahan tawa. Alih-alih menanggapi, Jordy justru mengedarkan tatapan datar pada temannya.

“Gue mau meeting. Kabarin anak-anak di group, jam 11 udah harus ngumpul di ruang meeting besar,” ucapnya sebelum ia melanglangbuana ke ruang kerja.

“Dih, sinting tuh orang,” gerutu Jenan seraya menggelengkan kepala. Aku tersenyum seadanya. Ternyata bukan hanya aku yang kesal dengan Jordy dan emosinya yang labil seperti perempuan PMS, bahkan teman dekatnya pun gemas karena sikap menyebalkannya itu.

“Ri.” Kupikir Jenan langsung menyusul karena telah diultimatum Jordy, rupanya dia malah kembali bertengger ke mejaku.

“Ada apa, Pak Jenan?” tanyaku.

“Hahahaha, segala pake Pak Jenan. Gimana akting gue?”

Aku melongo ketika ia bertanya sesuatu yang membuatku semakin merasa bodoh.

“Akting...apa ya, Pak?” sahutku.

“Akting pura-pura ga suka sama lo di depan Jordy.”

APAAN?!

“Pura-pura nggak suka sama saya gimana ya, Pak maksudnya?” Aku makin ingin menjerumuskan diri ke lubang terdalam di selokan kalau gini caranya. AAAAAAAAAK!

Jenan tersenyum, “lo gak tau tipe gue ya?”

“Tipe?”

“Gue suka cewek yang berisi,” tandasnya ringan tapi sukses membuat pipiku memerah seperti kepiting rebus.