Jenan, The Fairy Godfather

Sebenarnya kakiku sangat pegal mengitari mall seluas samudra ini. Dari ujung ke ujung, dari Timur ke Barat, tak ada satupun barang yang ingin kubeli. Bukan karena modelnya yang kurang pas, tapi harganya itu setara dengan cicilan motor Dhea. Bayangkan ya, satu tas jinjing dibanderol seharga tiga puluh juta!! Aku bagaikan LC yang memeras harta gadunnya dalam semalam. Mana gak boleh pulang pula sebelum membawa barang. Dari sekian banyaknya tas, akhirnya aku menemukan harga yang kira-kira cukup bikin jantungan, tapi tak terlalu menguras dompet.

Ya! Michael Kors. Aku langsung masuk ke store nya, tapi tiba-tiba kakiku membeku ketika mendapati Jenan berada di store sebelahnya. Aduh, aku panik bukan kepayang. Mau kabur tapi Jenan dengan senyum pepsodentnya lebih dahulu menyapaku.

“Hai, Ri.” Mampus.

“Hai!” Aku tersenyum kaku. Ia melirik ke arah kanan dan kiri lalu tertawa kecil. “Pawang lo mana? Eh, ya... Deep Condolences buat insiden waktu itu ya. So Sorry to hear that.”

Aku manggut-manggut karena apa? Ya, aku tidak paham apa yang ia bicarakan dengan akses amerikanya yang plek ketiplek dengan Jordy.

“Iya, makasih ya, Pak Jenan.” Ia tersenyum tulus. “Anyway, belanja?”

Saya mau maling, Pak. Jawabku dalam hati

“Hmm. Enggak liat-liat doang.” Dia mengangguk paham. “Oalah, gitu. Btw, gue lagi nyari tas nih buat kado. Mau ngadoin temen, cewe kebetulan. Siapa tau lo bisa bantu. Boleh temenin nggak?”

Kalau begini caranya aku ribut lagi nggak ya sama Mas Jordy? Mengingat cemburuannya menembus langit, sebaiknya aku menolak Jenan.

Aku tersenyum sungkan. “Pak, saya kayanya harus pulang deh. Udah kesorean ini. Gak bisa lama-lama.”

“Yah, padahal deket banget tempatnya. Tuh cuma di seberang.” Ia menunjuk salah satu toko dengan warna ngejreng mampus. Oranye menyala.

Aduh... bukannya ini tas yang harganya selangit itu ya? Tapi untuk selevel Jenan dan tampangnya yang gantengnya juga seperti pangeran, barang-barang seperti ini pasti mampu dibelinya. Lihat, dia melenggang masuk seperti tak ada beban sementara dengkulku lemas seketika saat melangkah ke dalam. Kakiku menapak sedikit demi sedikit, tangan ini kukatupkan agar tidak satu barangpun kusentuh. Ngeri-ngeri ada yang tak sengaja kusenggol, nanti malah menyusahkan.

Maunya menghindar, malah terjebak.

“Ri, menurut lo ini bagus nggak?” tanya Jenan dengan telunjuk yang terarah pada satu tas dengan logo H, HANDOKO (becanda) berwarna merah menyala.

“Bagus, keren. Saya suka.” Dia mengangguk-angguk kemudian meninggalkan jejeran tas itu. Dilihat-lihat harganya senilai rumah di Pondok Indah. Astaga... orang-orang seperti Jenan juga suamiku Jordy bisa kaya gini dari mana sih? Kalau ayah mertuaku memang pebisnis di bidang kelapa sawit dan tambang, jadi aku tak begitu heran mengapa Jordy bisa membeli barang-barang mahal. Ditambah series yang ia kerjakan selalu sukses, makin banyak pundi-pundi yang ia raup dalam rekeningnya.

Kalau Jenan... kabarnya sih juga anak dari seorang pengusaha kaya di Magelang.

Ah, sudahlah tak penting membahas sejarah sirkel jetset suamiku. Yang harusnya kupikirkan adalah bagaimana aku bisa menyudahi aksi jalan-jalan dengan mantan crushku-slash-sahabat suamiku sendiri. Aku tak mau mereka saling bersitegang seperti dulu.

Saking gugup dan fokusnya, aku sampai tak sadar jika tanganku tak sengaja menyentuh satu scarf berwarna putih satin dengan lambang H di setiap design nya. Cantik sekali, tapi gitu lihat harganya yang setara dengan biaya kuliah Aidan nanti. Lututku tambah lunglai setelah merapikannya ke posisi semula.

“Yuk Ri, udah nih.” Jenan datang dengan menenteng box segede gaban.

“Iya, Pak.” Aku mengangguk sambil mengekor Jenan tapi dengan jarak yang agak jauh.

Kami kemudian menyusuri satu bagian lagi, letaknya di pojok lantai G sebelah kiri. Toko yang menjadi surganya banyak perempuan dan barangnya juga fantastis. Aku sempat meliriknya sebentar dan sebenarnya aku tertarik pada satu gelang yang terpampang di manekin tanpa kepala itu.

Gelang dengan buah kalung bewarna soft pink marble. Cantik, tapi kalau aku yang pakai rasanya tuh barang jatuh pasarannya.

“Ri, lo mau masuk nggak?” tanya Jenan di sebelah. Aku sontak menggeleng.

“Saya harus pulang, Pak.” “Bentar dulu. Gue mau liat ke sana. Kayanya ada yang bagus buat aksesoris.”

SAKAREPMU WIS!!!!! Aku nyaris menjerit di telinga Jenan. Dari jaman kami berteman mesra sampe sekarang aku menikah, nih manusia satu nggaaaa pernah berhenti menambah masalah di hidupku yang seperti wahana kesayangan Aidan, Alang-alang Dufan.

“Kalau emang capek nanti duduk aja di dalem. Dapet complimentary kok.”

Aku cengo. “Complimentary tuh makanan apa ya, Pak?”

Dia cuma tertawa. Persis kaya sobat kentelnya, Jordy.