Jordy dan 1001 caranya

“Kenapa pulangnya ke rumah Bapak?” Aku patut memprotes karena sebelum mobil Jordy berhenti di basement apart-nya, aku sudah memintanya untuk mengantarku ke rumah. Sayangnya, aku terlalu lelah untuk hari ini dan sialnya, aku tertidur dalam perjalanan.

“Banyak yang harus kita beresin. Besok aja baliknya.”

“Pak, kalau Bapak minta saya untuk nurut sama Bapak, saya iyain. Kenapa kalau saya yang minta, gak pernah Bapak dengerin?”

“Jangan berantem sekarang, saya lagi capek, Mentari.”

“Bapak pikir saya nggak capek kah?”

“Mentari.” Nada Jordy mulai berubah, tapi aku tak peduli. Aku juga butuh sehari penuh untuk berpikir ulang mengenai hubunganku dengannya yang selalu diwarnai pertengkaran. Dia tidak mau berkompromi, sedang aku dipaksa olehnya.

“Saya cukup sekali ngomong sama kamu.”

“Saya juga cukup sekali kenal Bapak. Saya capek, Pak. Saya nggak pernah dianggap sama Bapak, saya juga nggak pernah didengerin sama Bapak.”

Jordy menatapku datar, sedang aku yang tadinya tak ingin menangis, akhirnya menumpahkan kesedihanku di depannya. “Kalau Bapak gak mau sama saya, bilang dari sekarang. Jangan diteruskan, Pak. Saya nanti jelasin ke Paklik dan Bulik.”

Kurasa dia cukup kaget dengan keputusanku. Tangannya mencegatku untuk turun, tapi aku berhasil melepas genggamannya.

“Kamu mau bilang apa sama Paklik Bulik?” tanyanya panik.

“Ya bilang aja kita nggak cocok.” “Saya harus bilang apa sama Aidan kalau kamu pergi?”

“Bilang aja Tante Kibow udah resign dari kantor, jadi nggak ke sini lagi.”

Aku berjalan menjauh darinya, tapi sial—aku lupa, Jordy selalu bisa maju selangkah dariku. Kaki jenjang dan tubuh tingginya itu menjadi akses untuk menjangkau tanganku.

“Mentari, masalah kita simple. Cuma komunikasi.”

“Nggak, lebih complicated dari itu.”

“Please lah, Mentari...”

“Saya sayang sama Aidan, Pak. Tapi saya pikir itu nggak cukup buat Bapak. Jadi mending gini aja... Saya bakal tetep urus Aidan. Saya nggak butuh uang atau materi dari Bapak. Saya cuma mau Bapak janji sama saya untuk perhatiin dia sebaik mungkin.”

”...Bahkan Bapak nggak perlu buang waktu nikah sama saya kalau Bapak sadar dari awal.”

”...Udah ya, Pak? Hari ini, anggep aja terakhir kali kita saling kenal, dan terakhir juga saya 'pacaran' sama Bapak. Besok, Bapak bebas mau ngapain, mau janjian sama siapa dan pacaran sama siapa tanpa harus delete foto.”

”...Tenang, Pak. Saya nggak akan bocor ke siapapun kalau kita pernah deket, termasuk sama Pak Jenan dan Pak Teza.”

”...Nama Bapak akan selalu baik di depan keluarga saya.”

Jordy benar-benar hanya diam dan mendengarkan semua perkataanku. Dia memandangku nanar, tapi dapat kulihat netranya meredup, nafasnya memburu. Binarnya seakan memintaku untuk menetap.

“Jangan panggil saya 'Bapak,' kan tadi saya udah bilang.”

“Ya suka suka sayalah mau manggil Bapak kek! Om kek! Mulut, mulut saya, kok Bapak ngatur melulu!” kesalku, kemudian meninggalkannya. “Lepasin tangan saya atau saya teriak di sini!” ancamku dengan pelototan.

“Kamu nggak akan bisa pulang, Mentari. Akses apart ada di saya, kamu kan ga punya akses.”

”...Kalau mau, minta Erna aja. Tapi paling dia udah tidur, nemenin Aidan.”

Aku meliriknya dingin sambil dengan sangat terpaksa mengikutinya dari belakang.

🖤