“Keluar!” Jeritan Jordy yang terdengar dari luar sontak mengejutkan putranya, Aidan. Anak itu buru-buru membuka pintu, bersembunyi di balik tubuh perempuan di depannya.

“Idan, sini! Jangan disitu. Sama Papi, sini!” panggilnya dengan tergesa-gesa. Namun alih-alih menurut, Idan justru menggenggam tangan perempuan itu walau Jordy berusaha menarik anaknya menjauh dari sang puan.

“Idan!” Dengan cepat Jordy mengangkat Aidan dalam gendongannya. “Idan, ke kamar Papi. Sekarang!”

“Pi...tapi...”

“Idan, cepet. Sekarang,” tegas Jordy tak mau dibantah. Mau tak mau anaknya menurut, menyeret langkahnya dengan ogah-ogahan, naik ke ataspun seakan beringsut dari kasur.

“Nggak pake ngintip, Idan! Tutup, kunci pintunya.” Jordy kembali bertitah, sementara perempuan di depannya itu hanya termangu memandangnya.

“Mentari, apa maksud kamu?” tanyanya.

“Saya cuma mau menegaskan bahwa saya—”

Brukk! Tubuh Mentari tiba-tiba terhuyung, dan jatuh tepat di pelukan Jordy. Sontak lelaki itu terpaksa memeluk Mentari dengan erat agar kepalanya tak terbentur lantai.

“Mentari, bangun. Mentari!” Jordy menepuk pelan pipi Mentari, mencoba menyadarkan sang puan. Namun bukannya tersadar, Mentari justru mengikik pelan.

“Akhirnya giliran saya yang menguasai tubuh perempuan ini.. Dengan mata terpejam, Mentari akhirnya menyahut. Namun anehnya, suara Mentari terdengar serak dan berat. Ia juga terbatuk-batuk kecil.

“Siapa?!” Jordy membalas.

“Saya...sudah lama sekali ingin meminjam tubuh perempuan ini. Sejak dua minggu dia tinggal di rumah sakit itu, saya tau...ada sesuatu yang dia miliki. Dia bisa berkomunikasi dengan saya.”

Jordy terdiam. Berkomunikasi katanya? Otaknya butuh mencerna identitas baru apalagi yang kini menguasai Mentari.

“Siapa? Anda siapa? Saya boleh tahu identitas Anda?” tanya Jordy, menuruti saran Terry, pskiater Mentari. Perempuan itu menggeleng, kemudian tertawa lagi. “Jangan sekali-kali, kamu bawa dia ke orang pintar!” Telunjuk Mentari terarah pada wajah Jordy.

“Karena...jika kamu membawanya ke orang pintar, kami, termasuk orang yang sangat kamu cintai, tidak akan bisa berbicara dengan kamu. Dan juga...anak kecil yang sedang mengintip kamu dari balik pintu kamarmu.” Mentari mengarahkan kepalanya ke pintu kamar Jordy seakan memberikan petunjuk jika putranya, Aidan, tidak mendengarkan permintaannya.

“Saya tidak mau berlama-lama berada dalam tubuh ini. Dia dilindungi seseorang yang pernah mengisi hidupnya. Panas! Saya tidak betah! Panaaaas!” Mentari seketika meraung-raung, memegangi kepalanya, sedangkan Jordy di sebelah perempuan itu mencoba sekuat tenaga untuk menarik tangan Mentari dari rambut ikalnya.

“Mentari, tenang! Jangan dijambak rambutnya!” Lelaki itupun berusaha menggendong tubuh Mentari, namun ujungnya dia justru terengah-engah, karena meski bobot tubuh Mentari memang naik drastis, Jordy merasa heran, mengapa tubuh perempuan itu mendadak menjadi sangaaaat berat, seperti kayu yang ditimpa besi beton.

“Allohu laa ilaaha illaa Huwal Hayyul Qoyyuum, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa nauum, la Huu maa fis samawaati wa maa fil ardh, mann dzalladzii yasyfa’u ‘inda Huu, illa bi idznih, ya’lamu maa bayna aidiihim wa maa kholfahum, wa laa yuhiituuna bisyayim min ‘ilmi Hii illaa bi maa syaa’, wa si’a kursiyyuus samaawaati walardh, wa laa yauudlu Huu hifdzuhumaa, wa Huwal ‘aliyyul ‘adziiim...”

Usai shalat Magrib ditunaikan, Renjana ternyata tak langsung kembali ke ruang kerjanya. Entah mengapa seharian itu perasaan Renjana terus gundah gulana. Dan Mentari terlintas dalam pikirnya. Ia teringat akan hal-hal aneh yang Mentari ceritakan padanya. Tentang betapa ia merinding saat melewati foto Kirana di ruangan Jordy; bau anyir yang mengganggu penciuman perempuan itu beberapa hari sebelum ia diizinkan pulang dari rumah sakit. Semua itu membuat hati Renjana tak tenang. Ia pun memutuskan untuk melantunkan ayat suci Al-Quran, yang biasa didoakan ketika diganggu oleh jin dan sebangsanya.

Selama melantunkan ayat suci tersebut, tubuh Renjana terus mengeluarkan keringat. Air minum yang ia letakkan di sebelahnya bergoyang, dan hawanya sangat tidak enak. Kadang berhembus hawa dingin, kadang hangat. Terus terulang hingga seorang Ustadz menghampirinya dan berkata,

“Jangan putus doanya, terus diucapkan sambil diimankan. Ada yang sedang berusaha mengusik. Di luar sana karena kamu mendoakan seseorang. Jangan berhenti sampai benar-benar mereka pergi.”

Renjana mengangguk.