Kembali Ke Awal

Firasatku terbukti, seharusnya aku tidak ikut Jordy kembali ke rumahnya, sebab ketika kedua kaki ini melangkah ke sana, air mataku nyaris merebak.

Ini bukan air mata bahagia seperti yang Jordy janjikan padaku, melainkan lara yang membuncah sesaat Jordy membuka kamarnya.

Dekorasi sprei pink bermotif kimono. Ingatanku melambung jauh pada ucapannya sebelum kami berpisah, “Kirana suka sprei ini.”

Ketika itu dia dalam keadaan mabuk, entah berapa gelas yang Jordy habiskan. Namun kenangan pahit itu tidak pernah sirna dari kepalaku. Dia bilang dia menginginkan yang terbaik untukku kedepannya, tapi ia malah melukaiku kesekian kalinya.

Air mataku merebak ketika Jordy tersenyum bangga.

“Kamu...kenapa?” Masih sempat ia bertanya. Gila.

“Aku mau tidur di kamar Idan,” putusku tanpa peduli ia berusaha menjelaskan.

“Ri, saya ngubah ini buat kamu–”

“Buat aku?” Aku mendengus kesal.

Ia mengangguk. Dadaku tercekat hebat saat harus membalas ucapannya, sebab saat itu rasa sakit hatiku memuncak, aku kembali putus asa, ragu ia akan sungguh-sungguh dengan semua perkataannya.

“Aku nggak pernah suka warna pink,” ucapku tertahan. Ia tercenung, memandangku penuh rasa bersalah.

Satu helaan nafas terlepas dari diriku, “kamu pernah bilang, sprei ini kesukaan Mba Kirana.”

Tangisku kembali bergaung, disaat lelaki itu kebingungan, merasa tak pernah memberitahuku sebelumnya. Tentu, karena ia memberitahuku dalam keadaan mabuk kala itu, bahkan di malam kami baru resmi menjadi sepasang suami istri.

“Ri, saya...” Ia meraup wajahnya sendiri. “Saya lupa-”

“Kamu bukan lupa, Mas Jordy,” selaku. “Kamu nggak pernah kenal sama aku, dan nggak pernah mau tau tentang aku!” Amukku pecah. Aku meninggalkan Jordy di kamar itu, membiarkan ia menatapku penuh rasa bersalah. Bahkan ketika aku beranjak pergi, tak kudengar kakinya melangkah menahanku.

Kurasa sebaiknya aku menetap pada keputusanku di awal, tetap berpisah dengan Jordy.