“Kenapa Aidan? Kok nangis gitu?” tanyaku ketika membuka pintu. Anak itu langsung berlari dan langsung memelukku,
“Maamaaaah, Idan diajakin nonton sama Papi, terus... terus... ceritanya sedih. Mamahnya pergi, ga pulang lagi, huaaaaaaaaaaa...” adunya
Usut punya usut, ternyata Jordy memilihkan film kartun untuk Aidan.
Bener sih kartun, namun Jordy lupa kalo film yang diputarnya ternyata begitu tragis dan menyedihkan. Tentang sepasang kakak beradik yang terpaksa melindungi diri dari perang dunia kedua. Orang tua mereka telah tiada karena menjadi korban jarahan.
“Kartun, Yang. Kartun.” Tatapan Jordy terarah padaku, berharap aku membelanya.
“Apa?” “Studio Ghilbi, Grave of Lies.” Hembusan nafasku terhela saat kubaca cerita menyayat hati itu. Pantesan aja Aidan sampe mewek begini.
“Udah, sini-sini sama Mamah. Jangan nangis ya... Mamah ga kemana-mana, Mamah sama Idan dan Papi.”
“Dan,” ujar Jordy di sebelahku. “Papi sama Mamah kan sama-sama terus. Mamah gak balik Jogja, Mamah sama kita di sini. Idan udahan dong, Nak, nangisnya..”
Anak itu cuma memandang aku dan papinya secara bergantian sambil terisak. Namun jelas binar di matanya meredup, seolah dihimpit rasa takut dan cemas tentangku yang mungkin saja akan pergi.
“Mamah sayang Idan, oke? Mamah is here.” Ia memelukku erat.
“Idan apa yang masih dirasa? Sedih?” Aidan mengangguk. “Idan nggak mau bobo sendiri, Idan mau bobo tapi dipeluk Mamah.”
Aku terpaksa menahan tawa sambil menenangkan Aidan, kulihat Jordy cuma bisa memandang kami pasrah, membiarkan Aidan sekali lagi menjadi penguasa ranjang.
“Ya udah, ayo. Sini bobo sama Mamah.” “Papi juga.” Aidan menyelipkan tangannya sendiri di balik telapak sang ayah.
“Iya... Hari ini Idan mau dibacain buku cerita sama Mamah, atau Papi?”
“Papiiii!” “Oke.”