Left Unsaid

“Ujan.” Suara berat dari belakang membuat Regina mengedikkan bahu, ketika ia refleks menoleh, dilihatnya tangan sesosok laki-laki tengah menengadah ke atas. Sosok ini begitu dekat dengannya, ia berdiri mengikis jarak hingga tak menyisakan celah sedikitpun diantara sepatu kets Regina dan sepatu kets milik laki-laki itu.

Regina sontak menggeser kakinya agar ia tak terlalu dekat dengan sosok itu. Ia tahu batasan, ada hati yang harus ia jaga di luar sana. Tidak etis apabila posisi berdiri mereka mengundang pertanyaan dari anak-anak.

“Nih payungnya,” ujar sosok itu tenang. Angin yang berembus kencang serta cuaca dingin menembus kulit membuat wajah Regina menampilkan semburat merah muda. Bukan karena kehadiran sosok di sampingnya ini, melainkan karena ia alergi dengan cuaca dingin.

“Gak pilek, kan? Maskernya dinaikin deh,” kata sosok itu sekali lagi, mengingatkan. Anehnya, Regina tak melayangkan protes apapun. Ia segera melakukan apa yang dikatakan sosok itu. Sepertinya hari ini cukup melelahkan untuk seorang Regina, sampai-sampai dirinya tak keras kepala seperti biasa.

“Iya, thank you udan ngingetn. By the way, Xav.”

“Hmm?”

“Baju sama rambut lo basah,” ujar Regina memberitahu. Lelaki itu mengikuti arah netra Regina yang berakhir pada bahu bidangnya.

“Nggak papa, santai. Ntar juga kering. Cowok lo udah dimana?”

Astaga! Regina sampai lupa mengecek ponselnya karena terlalu fokus merevisi susunan acara yang diminta Hazel. Ia pun bergegas mengambil ponselnya dari dalam tas selempang.

Seketika ekspresi Regina benar-benar berubah. Yang tadinya masih terlihat ramah, sedetik kemudian, Regina tampak menahan marah. Seolah-olah ada sesuatu yang terjadi pada perempuan itu.

“Xav, gue duluan ya.”

“Gue anter sampe depan.”

“Jangan, Xav. Nanti cowok gue marah,” larang Regina gemetar.

“Kenapa mesti marah?” tanya Xavier bingung. Alih-alih mendapat jawaban, Xavier malah dibuat heran oleh sikap gadis itu. Tanpa ucapan terima kasih dari bibirnya, Regina meninggalkan Xavier tanpa sepatah kata.