Logika yang Buntu
Mobil Lexus andalan Jordy melintasi Jalan Jendral Sudirman dalam kecepatan sembilan puluh kilo meter, mengingat pesan Aidan yang tak henti-hentinya berputar dalam kepala.
“Tante Mentari buka lemari pakaian Mami, terus bilang 'saya udah lama gak pake baju ini.' Terus, dia ke kamar Papi, duduk di meja rias Mami. Dandan.”
Penuturan putranya tersebut tentu menjadi buah pikiran Jordy saat ini. Sudah hampir dua bulan Mentari ditangani oleh Terry, tapi hasilnya hanya sementara. Ia masih tetap berperilaku aneh, dan kepribadiannya yang mirip Kirana itu membuat Jordy risau setiap saat. Jika begini terus, Jordy sepertinya harus mencari alternatif lain—membawa perempuan itu ke psikiater yang lebih andal.
“Halo, Ter.” Jordy segera menghubungi kawannya, Terry.
“Oy, hahaha.” Dari suara parau Terry, Jordy bisa menebak apa yang tengah dilakukan sahabatnya saat larut malam begini. Biasanya dia juga sering menikmatinya, karena Jordy selalu merasa tenang setelah melakukan rutinitas malamnya itu.
“Sadar dulu, Ter. Jangan nge-whiskey melulu,” ujar Jordy membanting setirnya ke arah kiri. Hampir saja mobilnya cacat pandang gara-gara sebuah motor yang melaju cepat.
“Ada apalagi sih, Jor? Gak bisa ngebiarin gue tipsy dikit lo ya?” gerutu Terry seraya menahan rasa mual yang memenuhi lambungnya.
“Ter, gue mau semua terapi Mentari di-stop. Gak bisa gue ngandelin lo lagi,” tandas Jordy cepat. Sahabatnya di ujung sana berhenti menenggak seloki minuman beralkohol di tangannya. Air mukanya begitu kecewa dan penuh penyesalan. Bukan apa-apa, dan bukan karena dirinya yang sedikit meletakkan rasa kagum pada paras Mentari yang cantik, tapi ia merasa gagal sebagai seorang psikiater yang sering diundang dalam beberapa acara Talk Show mengenai kesehatan mental di televisi. Jika kasus Mentari saja tak bisa ia tangani, lalu bagaimana para produser televisi mempercayainya nanti?
Lantas Terry meraup wajahnya yang semerah kepiting rebus, berusaha sober secepatnya. “Kasih gue satu kesempatan lagi, Jor. Please,” mohonnya sambil meringis.
“Lo udah berkali-kali gue kasih chance, yang ada Mentari malah tambah ngadi-ngadi!” Disaat itu entah mengapa emosi Jordy terpancing. Antara ia begitu mengkhawatirkan kondisi Aidan di rumah atau frustasi karena Mentari tak kunjung membaik.
“Ngadi-ngadi apalagi sih...” Terdengar suara gebukan dari sisi Terry. Ternyata lelaki itu ambruk, jatuh ke lantai karena terlalu mabuk.
“Dia buka lemari pakaian Kirana, dress up pake bajunya Kirana, bertingkah kayak Kirana. Lo kira gue gak stres ngadepin orang kepribadian ganda kayak dia?” Acuh tak acuh dengan kondisi Terry, Jordy meluapkan kekesalannya yang pasti akan ditanggapi Terry dengan gurauan gak penting.
“Hahahaha...” Lelaki itu melebarkan tawanya. “Jor, apa jangan-jangan bini lo dateng ya, Jor?”
“Lo tuh psikiater, harusnya mikirnya pake logika!” bantah Jordy marah. “Harusnya lo bisa berpikir jernih. Mana ada sih, orang yang udah meninggal bisa dateng?” omel Jordy memukul setir.
“Hahahaha... Ya gue mah asal ngejeplak doang, Jor. Kali-kali aja ya nggak? Kirana selama ini ada sama-sama kalian,” dengan suara tak jelas seperti orang meracau, Terry berkata demikian.
“Fuck off!” Jordy mematikan teleponnya, tak terima dengan penjelasan tak masuk akal Terry. Toh dia juga sedang dalam pengaruh alkohol, tentu jawabannya akan lebih aneh dari kebiasaan buruknya saat sedang tipsy—mencium kaki teman-temannya yang lain.
Alhasil Jordy harus kembali ke rumah dengan perasaan cemas bertubi-tubi. Ia semakin menandaskan kecepatan gas mobilnya, tak sabar untuk segera sampai rumah—menyelamatkan putranya dari Mentari. . . .
“Aidan, bangun.”
Jordy buru-buru membangunkan Aidan, menyelamatkannya dari perempuan bertubuh gempal yang ia dapati malah tertidur nyenyak di ranjang putranya. Tak ada lagi yang terbersit dalam benak Jordy kala itu, ia hanya ingin Aidan aman di rumah. Dan ia pikir, menjauhkan Aidan dari Mentari adalah keputusan yang tepat.
Usai meletakkan dan memastikan Aidan tertidur di kamarnya, Jordy bergegas menuju kamar Aidan untuk membangunkan Mentari.
“Mentari,” tanpa pikir panjang, Jordy mengguncang kuat tubuh gempal Mentari. Barisan lemak bergelambir yang menyatu di tangannya bergoyang, membuat ujung sprei Mc Laren Aidan terkoyak seketika. Jordy berdecak, kesalnya yang semula menumpuk lama-lama memuncak, menciptakan sinergi emosi yang kuat.
“Mentari!” bentaknya. Perempuan itu langsung terbangun, matanya membelalak dan ia berteriak kencang.
“Astaghfirullah! Astaghfirullah, Muhammad Ya Rasullulah!”
Jordy sontak mundur saat Mentari menarik tubuhnya tiba-tiba. Jantungnya seakan terhenti ketika lengan gempal Mentari menghimpit kuat. Dadanya sesak seakan oksigen yang tadi sempat mengudara diambil alih oleh perempuan tambun itu.
“Mentari! Ngapain kamu meluk-meluk saya kayak gin—” Netra Jordy terhenti sesaat, menyadari ada sesuatu yang begitu ia kenali terbalut di tubuh Mentari. Piyama lengan panjang merah berbahan satin, kesayangan Kirana.
“Dari mana kamu dapetin baju ini?” tanya Jordy gusar. Mentari terdiam, memandang Jordy dengan nafas terengah-engah. Ia tampak ingin berbicara, tapi entah mengapa bibirnya sulit terbuka. Terkunci rapat seolah ada sesuatu yang membuatnya ragu untuk memberitahu Jordy.
“Jawab, Mentari!” desak Jordy tak mau tahu. Begitu suara Jordy meninggi, air mata pun tak luput dari wajah perempuan itu. Ia menangis pilu.
“Pak, saya takut, Pak!” Suara Mentari memelan namun gemetar. “Istri Bapak...” Ia terbata-bata, tapi tak putus asa untuk merangkai kata, “istri Bapak nangis kenceng banget di sebelah saya...suaranya merintih tapi lama-lama dia ketawa...nafas pelan di sebelah saya...lalu dia bilang 'jangan pergi dari kalian.' Tolong, Pak... Saya nggak nyaman kalau begini terus, tolong! Saya boleh pulang aja ya Pak...”
“Kamu ngomong apa sih, Mentari? Jangan bercanda,” tepis Jordy keras kepala. Ia tak punya pilihan lain selain menenangkan Mentari dari halusinasinya yang makin meningkat. Terpaksa ia membelai lembut kepala perempuan itu dan merengkuhnya dalam hangatnya peluk.
“Tenang, Ri. Itu cuma mimpi buruk aja. Kamu cuma bermimpi, you're just too tired.”
Dalam hati Jordy berdecak kesal. Rencananya yang tadi ingin menegur Mentari dan bertanya padanya tentang dari mana ia tahu dimana letak lemari pakaian mendiang sang istri terpaksa ia urungkan. Melihat betapa kacaunya Mentari setelah terbangun dari tidurnya, Jordy tak bisa berbuat apapun selain membiarkan dirinya menjadi bantalan untuk perempuan itu.
“Maaf, Pak..” Usai menangis cukup lama, Mentari menarik dirinya sendiri dari tubuh Jordy. Ia melirik pakaian yang ia kenakan dengan wajah heran.
“Kok saya...bisa pake baju ini?” gumamnya bingung.
“Mentari,” ucap Jordy setelah yakin keadaan Mentari cukup stabil. “Kita ganti pskiater aja. Sepertinya Terry gak cocok sama kamu,” lanjutnya kemudian.
“Pak, jujur, saya udah gak mau berobat lagi. Capek, Pak,” keluh Mentari putus asa.
“Kalau kamu capek terus saya apa?” balas Jordy enggan mengalah. Sama halnya dengan Mentari, Jordy juga tak kalah lelahnya saat harus menahan emosi yang menggebu ketika Mentari kambuh. Setiap kali Mentari berperilaku seperti “Kirana”, Jordy selalu kelepasan terbawa suasana. Sorot mata teduh nan sayu serta cara bicara yang sama persis dengan Kirana sungguh membuat kepala Jordy serasa mau pecah. Kadang Jordy ingin melepas tanggung jawabnya sebagai pendamping Mentari, namun kontrak yang telah mengikat mereka beberapa waktu lalu membuat Jordy menimbang kembali keputusannya.
Mentari diam saat Jordy membalas ucapannya. Ia memalingkan tatapan ke luar jendela, tak berani memandang Jordy.
“Mentari, percaya sama saya. Suatu saat kondisi kamu pasti akan membaik. Saya gak peduli dengan kontrak yang saya tanda tangani sama Terry waktu itu. Saya akan membawa kamu ketemu dengan salah satu pskiater yang jauh lebih hebat dari Terry. Ya?”
“Saya nggak tau apa keputusan Bapak benar atau salah...” Mentari menyahut putus asa. Ia terlalu lelah malam ini karena tak berhenti memecut otaknya untuk mengingat rangkaian peristiwa yang terjadi sebelum Jordy pulang.
“Kadang saya ngerasa diri saya bukan saya, Pak Jordy. Saya takut kalau saya akan melukai Aidan, saya sangat menerima alasan Bapak tidak mengizinkan saya dekat dengan Aidan. Tapi kadang...saya nggak tahu kenapa saya selalu kepingin dekat dengan Idan. Dan setelahnya saya gak inget apa-apa...” Mentari mencoba menenangkan dirinya dengan mengutarakan apa yang ia rasa.
“Iya, saya tahu. Makasih karena kamu mau ngerti alasan saya.” Jordy menjeda ucapannya sesaat, “kamu inget, terakhir kali sebelum kamu berpakaian kayak gini, kamu ngapain?” tanya Jordy pelan.
“Yang terakhir kali saya inget...Aidan minta saya untuk bacain dongeng kesukaannya. Terus setelah itu saya gak inget apa-apa lagi. Dan saya mimpi buruk tentang mendiang istri Bapak.”
“Kalau soal mimpi buruk itu, gak perlu kamu pikirin, Mentari. Itu cuma mimpi, mungkin kamu kecapekan—”
“Pak,” sela Mentari.
“Ya?”
“Boleh saya nanya sesuatu ke Bapak tentang istri Bapak?” Ditanya seperti itu, Jordy agak tersentak. Sepantasnya hal ini bukanlah ranah Mentari, sebab sudah menjadi urusan pribadinya. Namun kali ini Jordy mengizinkan. Siapa tahu ada hal penting yang memicu personalitas Mentari yang mirip dengan Kirana.
“Silakan, Mentari.”
“Istri Bapak...sebelumnya sakit kanker pankreas, ya?”
“Iya. Kamu tahu dari mana?”
Mentari menggeleng, tetapi telunjuknya terarah pada perutnya yang selalu terasa nyeri. “Perut saya selalu nyeri, Pak.”
“Apa hubungannya? Kejadiannya udah lama, kok malah kamu sambung-sambungin,” gumamnya terkekeh.
“Dalam mimpi saya, setiap kali istri Bapak ngomong ke saya, dia selalu megang perutnya. Sambil terbata-bata ngomong ke saya...”
“Ya emang gejalanya seperti itu dulu,” ucap Jordy sembari mengingat kembali detil gejala yang kerap Kirana perlihatkan menjelang ajalnya.
“Dia bilang...saya enggak boleh pergi, tapi dengan nada yang serem, nangis melengking gitu. Jujur, Pak...saya takut banget karena suaranya dan tarikan nafas tersengalnya jelas banget deket telinga saya. Saya bener-bener ngarep semoga yang saya alami sesuai yang Bapak harapkan.” Mentari menghela nafas berat, menjeda omongannya sebentar.
“Maksudnya?”
“Ya... Diagnosa Terry bener,” kata Mentari sepelan mungkin. Air mukanya sendu. “Saya sakit. Karena kalau bukan sakit, saya akan ketakutan setiap malam... Saya gak bisa sendirian kalau begini caranya.”
“Ya emang kamu sakit, Mentari,” ujar Jordy penuh keyakinan.
“Kalau saya nggak sakit gimana, Pak?”
Jordy mengenyit dalam, nyaris tertawa dengan pemikiran non logis Mentari.
“Kalau saya beneran peka sama hal-hal yang gak bisa Bapak liat dan orang lain liat, kalau saya selama ini diikutin mendiang istri Bapak. Saya harus gimana, Pak...”
Mentari tak sanggup lagi menahan air matanya, akhirnya tangisnya pecah. Dadanya bergemuruh, menahan segala ketakutannya sendirian.
“Dengerin saya, Mentari,” kata Jordy sungguh-sungguh. “Orang yang sudah nggak ada, bagaimanapun caranya sudah pasti punya alam yang berbeda dengan kita. Udah ada porsinya masing-masing. Mereka juga gak akan bisa nyentuh kita.”
Tepat ketika Jordy berkata demikian foto pernikahannya yang ia pajang di atas nakas Aidan jatuh dengan sendirinya. Kacanya pecah, berserakan di lantai kayu apartnya. Jordy dan Mentari kompak menoleh ke arah sumber suara pecahan itu.
“Biar saya aja yang angkat—”
“Ody.” Langkah Jordy seketika terhenti. Ia mematung.
“Jadi kamu benar-benar mau saya pergi?”
Jordy segera berbalik menyusul Mentari yang berdiri di depannya dengan sorot mata tajam. “Mentari!” Tanpa berlama-lama lelaki itu lekas memeluk Mentari erat.
“Kamu meluk saya, atau memeluk perempuan ini?”
“Mentari, ini saya, Jordy. Kamu bukan Kirana. Ayo, sadar!”
“Jawab saja, Ody. Kalau memang benar kamu ingin saya gak ada lagi di sebelah kamu, saya akan pergi.”
“Mentari...” Jordy nyaris menggeram, tak kuasa menahan emosi yang menggebu dalam dada.
“Tapi setelah Aidan ikut saya,” ujar Mentari dengan nada dingin.
Usai berkata demikian, Mentari kembali tak sadarkan diri, tubuhnya terkulai, namun untung Jordy lekas menopangnya. Ia sempat memerhatikan wajah Mentari mengeluarkan warna merah merona, seolah aliran darahnya menjalar ke seluruh tubuhnya. Tidak seperti saat perempuan itu bicara—mukanya pucat pasi.
Untunglah kali ini Mentari cepat sadar, meski ia kembali dengan raut wajah panik.
“Pak, setiap malam tolong tidur sama Aidan. Jangan biarin dia tidur sendirian di kamar ini. Tolong banget, Pak. Perasaan saya tiba-tiba nggak enak.”
”...”
“Saya harus pulang besok, Pak. Kalau saya ada di rumah ini terus, nanti Idan kenapa-napa. Saya mohon sekali, Pak,” ucap Mentari dengan tampang ketakutan. Jordy mengangguk meski seperti biasa, pendiriannya tetap teguh menolak apa yang Mentari ucapkan.
“Besok pagi, biar saya yang antar,” kata Jordy sebelum lelaki itu meninggalkan kamar tamu.
“Jangan, Pak!” tolak Mentari cepat. Ia terlihat panik dan itu membuat Jordy sedikit curiga, mungkin ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan.
“Sedikit-dikit kamu pingsan kayak barusan, kalo pergi sendiri bahaya, Mentari. Saya yang anter langsung, bukan Devon, supir saya,” kata Jordy.
“Nggak apa-apa beneran, Pak. Saya kuat kok, lagian bisa pake aplikasi. Gak ada yang perlu Bapak khawatirkan—”
“Kalau saya bilang enggak, ya enggak, Mentari,” potongnya tak senang dibantah.
—