Love Doomed

Untuk pertama kalinya aku pergi bertiga dengan Jordy dan Aidan. Walau tak menampik, amarah masih memburu di dada, aku memilih menyingkir egoku setelah melihat Idan tersenyum berseri-seri diizinkan ikut oleh Jordy.

Mendapati air mukanya yang seceria itu, aku mengerti mengapa Idan terlihat sangat girang hanya karena hal sesederhana ini. Semua itu akibat Jordy yang terlalu sering membiarkan Idan di rumah. Ruangnya menjadi sempit, bahkan tak bisa seperti anak lain yang bermain dengan tetangga. Sekali Jordy menegur Idan, anak itu langsung menunduk atau bersembunyi di belakangku karena takut pada sang ayah.

Mendapat izin dari Jordy mengajak Idan saja butuh satu jam. Itupun aku harus adu mulut terlebih dahulu dengannya. Tapi alhamdulillah, usahaku terbayar.

Idan dengan santainya nyelonong duduk di depan, tepatnya di kursi sebelah Jordy menyetir. Lelaki itu menoleh pada anaknya sambil siap-siap meluncurkan omelan. “Idan, pindah belakang.”

“Idan mau duduk sama Tante Riri,” katanya acuh sambil melipat tangan di dada. Tak mau pusing, Jordy langsung menggendong Idan dan memindahnya ke bangku belakang. Alhasil, ketika aku sudah berdiri, Idan langsung berteriak dan menangis.

“Idan kamu apain?” ketusku sebal. Yang kuajak bicara turut mendelik sebal padaku, “kan udah saya bilang kemaren, kamu jangan manjain dia. Sekarang makin susah diatur.” Lelaki itu bersungut kemudian menempati bangku kemudi. Sedangkan aku masih menenangkan Idan dari tangisnya, “Gak papa, Dan. Nanti kalo Tante udah sembuh, kamu bisa duduk di depan sama Tante. Udah, gak usah nangis lagi.” Aku mengusap sisa air mata yang membasahi pipi gembulnya. “Nih, Tante bawain risoles kesukaan Idan. Makan di belakang ya, Sayang.”

Anak itu mengangguk sambil membuka tupperware yang berisi makanan kesukaannya. Sementara aku duduk di depan tanpa mengajak Jordy bicara. Malas.

Setengah jam perjalanan kulalui hanya dengan menatap keluar jendela. Jordy sibuk menatap jalan raya, dan Aidan sudah terlelap sambil mendekap boneka Mc Laren-nya. Hanya bising suara mesin mobil dan motor yang menemani perjalananku ke rumah sakit bersama Jordy. Setelah tadi malam kami saling tarik urat, tak sedikitpun ia menyesal. Ia terus menyetir dengan wajah lempengnya yang tak merasa bersalah.

Apa iya, aku harus menuruti omongan Chanting dengan membatalkan pertunangan kami? Aku akan punya waktu lebih untuk menikmati masa mudaku, juga tak harus mengeluarkan air mata karena laki-laki yang belum selesai dengan masa lalunya.

Walau aku tahu aku sangat mencintai Jordy, tapi terkadang sikap kerasnya cukup membuatku tersiksa. Bertahan hanya dengan aku yang memberikan segalanya untuk dia, sedang dia masih menyimpan semua untuk mendiang istrinya.

“Mas,” baru satu kata nafasku mulai tercekat.

“Kenapa?” sahutnya datar.

“Kita tunda aja ya.”

“Udah setengah perjalanan, di depan tinggal belok, nunda gimana—”

“Pernikahannya, maksudku.”

Dia mengangkat sebelah alisnya saat aku berucap demikian.

“Kenapa.”

“Ya karena...”

“Jenan?”

Lah kok jadi geret temennya sendiri? Aku menjerit panik dalam hati. “Udah berapa lama dia deket sama kamu?”

“Deket? Nggak, tuh.”

Jordy tak menanggapi, tapi yang kurasa saat itu mobilnya melaju dengan sangat cepat, bahkan kulihat Aidan sampai terangkat di belakang walau ia tetap tertidur pulas.

“Nomer vendornya, forward ke saya.”

“Buat apaan? Kamu denger nggak sih aku tadi ngomong apa?”

“Forward aja, sekarang,” bibirnya memerintah dengan nada santai, tapi tidak dengan sorot matanya yang dingin.

“Mau ngapain dulu, kalo mau ngomel-ngomel kayak kemaren aku gak bakal ngasih,” ancamku. Kali ini ia sudah benar-benar keterlaluan. Ngomel kanan kiri, semua orang yang tak bersalah kena damprat. Sifat asli Jordy mulai terlihat, dan mungkin benar, aku seharusnya menimbang weton yang Bulik Ratih katakan padaku. Wetonku dan wetonnya tak cocok. Kami saling bertabrakan dan selalu tak sepakat dalam hal apapun itu.

“Jeremy, ini gue, Jordy.” Aku kaget saat tahu-tahu ia menelepon salah satu vendor kami. Padahal aku belum memberikan nomor itu kepadanya.

“Oy, Jor. Kenapa? Ada yang gak beres dari undangan sama gedungnya?”

“Nggak, nggak ada. Foto prewed di Jakarta yang bagus dimana? Kemaren kan maunya diluar kota, tapi calon gue abis kecelakaan motor, jadi kayaknya jangan di luar daerah dulu, deh.”

“Oh gitu, di studio aja, Jor. Ala-ala Korea gitu. Ntar gue sama tim gue yang aturin. Lo bisa cek di pinterest, kaya studio monokrom gitu. Cakep dah pokoknya.”

Aku di sebelah Jordy lagi-lagi terdiam setelah ia dengan acuhnya malah membahas hal lain diluar yang tadi aku bicarakan. Ia meletakkan ponselnya di atas dasbor kecil, dekat perseneling, lalu menatapku sekilas. “Bilang sama Jenan sana, jangan ganggu kamu lagi. Suruh dia cari cewek lain, kayak gak ada kerjaan aja.”

“Tau dari mana?”

“Apanya lagi?” tanyanya dengan nada malas.

“Itu, Pak Jenan,” kataku ragu.

“Nggak perlu tau, bukan urusan kamu.”

“Dia bilang emang sama kamu?”

Jordy enggan menjawab. Si pelit ngomong itu langsung memalingkan wajahnya ke jalan raya. “Coba cek pinterest, foto studio monokrom kayak apa.”

“Kenapa sih kalo aku ngomong kamu selalu gak pernah mau dengerin? Gak pernah ditanggepin?” protesku tak lagi bisa menahan kesal.

Ia menoleh padaku dengan wajah dinginnya seperti biasa, “harus banget kita berantem depan Idan kayak gini? Nanti Idan bangun, Mentari.”

“Gak tau lah! Kesel banget.” Aku merutuk dan kembali membuang tatapanku darinya.

“Anggep aja kalo orang mau nikah selalu dikasih cobaan kayak gini,” tanggapnya santai. Aku menggeleng heran. Setelah berhari-hari dia memborbardirku dengan rentetan omelan, sekarang ia terlihat biasa-biasa saja, seolah pendapatku tak patut ia dengar.

“Orang kamu yang dari kemaren misuh-misuh sendiri!” sengitku tak mau kalah.

“Gimana gak misuh kalo kamu aja nggak bisa jaga diri kayak begini?” Matanya menyorot ke kaki dan tanganku yang masih diperban. “Dibilangin gak bisa, dikasih tau marah. Dijagain gak mau.”

“Jagain gimana?!” Nadaku kian meninggi.

“Pelan-pelan ngomongnya. Bisa?”

Wajahku panas dan memerah padam karena ia tiada henti menekan perasaanku. “Bener kata Idan, kamu tuh jahat.”

Dia diam dan tak menanggapi amarahku. Ia biarkan aku terpekur sendiri karena sikapnya yang membingungkan.