Luka Lara Yang Sama

Cukup lama aku dan Jordy hanya saling memandang satu sama lain dengan posisi Jordy yang menempelkan kepalanya di pahaku sambil cosplay menjadi candi, alias tidak bicara.

Dia hanya mendusal disana, mungkin dia mengira aku masih marah, dia tak berani mengajakku bicara. Kepalanya mendongak sedikit, tatapannya terangkat padaku.

Kupikir ia akan mengucapkan sesuatu, ternyata cuma menghela nafas. Ya Tuhan, baru kali ini aku menemukan Jordy yang kebingungan skak-mat bin speechless. Biasanya ia akan masuk dengan mulut yang sudah siap mengomel panjang lebar atau ngoceh karena aku melakukan pekerjaan rumah.

Tapi bukan itu fokusku, ada hal lain yang lebih penting. Matanya yang sudah sembab dari dua hari lalu, kini makin menjadi-jadi. Dia menangis lagi? Astaga...

Kepalanya kemudian sedikit naik dan terhenti di bagian perutku. Ia mendusalkan kepalanya sesaat.

“Maafin Papi ya, Dek...” Suaranya bergetar pelan, lirih penuh lara. Di situlah aku baru tahu kalau selama dua hari kami tidak bicara, Jordy berduka sebegitu dalamnya. Benar, dia hancur.

Tangisnya luruh tak beberapa lama kemudian. Akupun sama. Walau tangisku tak seperti hari pertama, tapi baru kali ini kulihat Jordy menangis sampai sesenggukkan seperti ini.

“Maaf...Maafin Papi, Dek... Maaf ya, Nak..”

Dia terus mengulang kalimat yang sama sambil mengelus-elus perutku. Tanganku sampai gemetar saking khawatirnya pada Jordy. Karena seingatku, Jordy belum makan apa-apa sejak kemarin.

“Mas... udah...” Cuma itu yang sanggupku kukatakan padanya.

“Adek sedih kalo liat papinya yang kuat jadi gini...” kataku dengan suara yang tak kalah gemetar dari dia.

“Dek...” racaunya seraya mengaitkan tangannya pada pinggangku. “Dek...maafin ya?”

“Udah, Mas... Bukan salah kamu sepenuhnya, aku juga salah,” bujukku sambil mengelus wajahnya lembut. Jordy mengeratkan kaitannya, “Dek, lagi hukum Papi ya? Baik-baik di sana ya...”

“Allahuakbar, Mas Jordy... Udah.” Sesak langsung mengerubungi dada, ketika Jordy berulang kali mengatakan hal yang sama. Akupun sama sepertinya, kami mungkin melakukan kelalaian sehingga anak kami harus pergi, aku juga menyalahkan diri sama seperti Jordy saat ini. Tapi dia yang kukira kuat seperti badannya yang mirip atlet tinju, ternyata luruh ketika harus menghadapi kenyataan pahit ini. Aku langsung menarik Jordy dalam pelukku, mengusap dahinya seperti Idan saat mau tidur untuk menenangkan sedihnya— membiarkan ia sekai lagi menumpahkan sedih dan sesalnya di sana.

Dalam kondisi begini, tidak penting siapa yang salah dan benar; atau siapa yang lemah dan kuat. Seberapa besar salahnya padaku atau sebaliknya, aku harus menguatkan suamiku...yang ternyata jauh lebih ringkih daripada aku.

Jordy yang kukira kuat dan dingin, ternyata menyimpan luka dan lara yang sama denganku.

“Udah ya? Kita harus bisa ikhlasin Adek, Mas.”

“Ikhlas gimana, Ri? Kalau malam itu saya ga berangkat syuting, kamu sama Adek pasti bisa selamat.. yang salah di sini saya. Saya yang gak bisa jagain kamu, adek, Idan. All is my fault. Saya minta maaf... maaf buat yang gak tahu udah keberapa kali ke kamu...”

”...Mungkin kalau suami kamu Jenan, kondisi kamu ga akan semenyedih—”

“Ngomong gitu lagi, WA-mu aku block! Mau?” Aku mengancam sambil menyeka air matanya sampai ia terdiam dan hanya memandangku sendu.

“Jangan...Ma,” cicitnya pelan. “Makanya, kalo ngomong jangan sembarangan!”

“Iya, maaf.” Ia menundukkan kepala. “Elus-elus lagi kayak tadi, jangan Idan doang.”

Aku tertawa kecil padahal wajah kami yang sama-sama sembab menjadi kaku karena terlalu banyak menangis.

“Lagi, Ri, lagi. Sampe saya tidur.”

Aku tak punya pilihan lain selain mengiyakan kemauan bapak-bapak anak satu yang selalu tak mau kalah dari anaknya, yang sudah tertidur lebih dulu di sebelahku.