Mamah Baru Idan
“Tanteeeee!” Suara Idan memecah kesunyian ketika aku hendak sampai di ruang makan. Kulihat Jordy sedang menyeruput kopi, sementara Idan tersenyum lebar, menunjukkan barisan gigi susu rapihnya. Segera aku bergabung duduk di sebelah Idan dan mengambilkannya selembar smoked beef, juga dua buah sosis ayam kesukaannya.
“Tante kemaren kenapa?” tanyanya lugu. Aku langsung melirik Jordy yang juga memburuku lewat lirikan mata datarnya. “Dan, makan,” kata Jordy, mengalihkan fokus Aidan.
“Kemaren Tante pake baju Mami, sekarang udah enggak. Tante tadi lama gara-gara ganti baju dulu ya?” tanyanya semakin penasaran. Tersisalah aku yang kembali memandang Jordy minta pertolongan agar Aidan berhenti bertanya, sebab saat pagi hari aku baru sadar jika semalaman aku mengenakan pakaian tidur milik almarhumah istri Jordy. Aku tak tahu apa yang kulakukan, tapi usai tersadar, aku cepat-cepat berganti baju dan mengembalikan pakaian tidur itu pada Jordy.
Aku mengangguk, “Maaf ya, Dan.”
Idan menggeleng, “Enggak papa, kok, Tante. Baju Mami kan banyak, terus kayaknya gak pernah dipake sejak Mami bobo di tanah. Buat Tante aja semuanya.”
Tepat ketika Aidan berkata demikian, Jordy dari seberangku melirik putranya dan menggeleng. Aku tahu, ia takkan pernah mengizinkan siapapun menyentuh pakaian almarhumah. Itu sebabnya aku merasa amat bersalah pada Jordy. Buru-buru kuucapkan selamat padanya berhubung kali ini adalah hari anniversary-nya dengan almarhumah. Tanpa Jordy berkata, semalam penuh aku tahu dia tak bisa tidur nyenyak, mungkin karena terbiasa tidur sendiri di kamarnya. Sedangkan bersamaku, ia pasti kesempitan.
“Tante,” panggil Idan disela aku mengambil sebuah roti.
“Ya, Idan? Kenapa?”
“Tante jangan sakit, nanti yang jadi mamahnya Idan siapa...” Anak itu melengkungkan bibirnya, sementara aku benar-benar terdiam. Seluruh benakku dipenuhi rasa hangat saat Aidan dengan manisnya berucap demikian. Jujur, aku tak pernah terpikir Aidan yang sekecil ini ternyata mengerti keadaannya. Ia sama sepertiku yang didewasakan oleh keadaan.
“Iya, nanti Tante rajin minum obat biar gak sakit,” kataku pada Idan. “Idan makan yang banyak, biar kuat.”
“Iya! Biar bisa jagain Tante!” balasnya bersemangat. “Eh!”
“Kenapa, Dan?” Ia menggeleng kuat, “sekarang Tante kan udah bukan Tantenya Idan.” Aku mengernyitkan dahi, tak mengerti apa yang anak itu bicarakan.
“Tante mamahnya Idan!” ucapnya yang langsung membuatku harus bekerja keras menahan haru. Sungguh ucapan Idan yang terasa tulus padaku, jauh lebih membahagiakan daripada genggaman tangan Jordy kemarin. “Idan boleh panggil Mamah?”
“Boleh...” Tangisku pecah seketika. Segera kupeluk Aidan seerat mungkin, aku tak peduli Jordy akan menegurku keras, tapi bagiku saat ini Idan adalah satu-satunya kekuatan untuk menghadapi kehidupan juga sikap dingin ayahnya.
“Huhuhuhu, Den Idan...Mba Erna seneng dengernya...” Tau-tau dari belakang, pengasuh Aidan menimpali. Ia juga tak kalah haru dariku. Dipeluknya Idan, “Den Idan berarti udah gak butuh Mba Erna dong?”
“Ihhh! Enggak! Nanti yang masakin Idan siapa?”
“Tapi Idan suka nakal sama Mba Erna kan? Hayooooo!” ledekku menyentuh pangkal hidungnya. Anak itu menunduk malu, “Enggak lagi-lagi deh. Nanti Mamah sedih kalo Idan nakal,” janjinya.
“Gitu dong!” Aku mengusak rambut hitam Idan.
“Mamah, nanti temenin Idan potong rambut ya, Mah?” pintanya.
“Dan, bisa pergi sendiri, kan?”
Kupikir sejak tadi Jordy hanya sibuk dengan pekerjaannya, sebab tak sedikitpun ia berkomentar atas segala ucapan Aidan padaku.
“Gak mau! Idan mau ditemenin sama Mamah, Papi aja yang di rumah! Hu!” sahutnya sembari menurunkan jempol ke bawah.
“Kamu itu, udah tau dia lagi sakit, gak boleh capek, malah ngerepotin,” omel Jordy.
“Eh, apaan sih? Malah pada berantem,” leraiku.
“Papi nakal, Mah!” cetus Aidan yang tentu saja membuat Jordy nyaris melotot padanya, tapi sukses kucegat. “Jangan marahin Idan!”
Jordy langsung mengurungkan niat dan kembali fokus ke ponselnya, untungnya ia tak kembali menjadi grumpy old man yang hobi menggerutu seperti biasa.