Mamah Loves You A Lot

Jika dulu aku mendengar nasihat Bulik Ratih, mungkin nasibku tidak akan semenyedihkan ini. Tapi sayang, aku terlalu percaya diri pada apa yang bukan menjadi jalanku. Maka ketika lelaki itu berjalan memunggungiku, aku membiarkannya meski isak tangis itu tetap ada.

Aidan, putra Jordy, pagi hari itu berlarian menyusuri lorong apart saat aku mengeluarkan koper besar. Entah dia paham maksudku dan ayahnya, Aidan tak berhenti mengikutiku. Binar mata lugunya terus menatapku, seakan melarangku pergi.

“Mamah mau ke rumah sakit ya? Mamah mau Idan temenin enggak? Papi kok nggak nganter Mamah sih?!” Anak itu menggerutu ketika sadar jika ayahnya tidak di sekitar. Ia berlari meninggalkanku, mencari ayahnya.

Air mataku yang sedari tadi tertahan, pada akhirnya berlinang ketika Aidan datang kembali, dan memelukku. “Mamah mau ketemu Kakak Dhea di Jogja? Idan mau ikut, Mah! Idan bisa izin sama Papi. Idan mau nemenin Mamah!”

Dengan suara gemetar, aku berjongkok agar sejajar dengan tinggi putra sambungku. “Dan...” Nafasku tercekat bahkan disaat aku berusaha menyingkirkan kenanganku bersama Aidan.

”...Mamah cuma sebentar kan?” Iris matanya membulat. “Kakak Dhea bilang Mamah ke Jogja cuma sebentar.”

“Dan, dengerin Mamah dulu,” selaku sembari membelai surai hitam tebalnya. “Janji sama Mamah, ga boleh nakal sama Papi selama Mamah pergi.” Aidan mengangguk kuat. Hatiku patah melihatnya.

”...Belajar, tapi ingat istirahat dan makan sayur. Mcd-nya jangan sering-sering yah?”

“Iya, Mah.”

“Ya udah, anak pinter. Mamah pergi dulu ya? Jangan nakal sama Papi, jangan suka ngambek sama Mba Erna. Ya, Sayang?” Aku menautkan kelingkingku pada kelingking mungil Aidan.

“Iya, Mah. Mamah kalo udah pulang bilang Idan ya? Nanti Idan jemput sama Om Devon. Papi enggak usah diajak, soalnya Papi nakal.”

Aku tertawa meski untuk melakukannya aku merasa amat terpaksa. “Dan, gak boleh gitu ah sama Papi. Katanya mau sayang Papi sama Mamah?” bujukku.

“Iya, Idan lupa, hehehe.” Anak lelaki itu memelukku sekali lagi, binarnya memandangku tulus. “Idan sayang sama Mamah, jangan sakit lagi ya, Mah. Idan udah belajar ngaji sama Kakak Dhea.”

Tangisku semakin pecah saat Aidan berucap demikian. Kupeluk tubuhnya erat, “Idan, maafin Mamah ya? Maafin semua kesalahan Mamah sama Idan. Mamah sayang banget sama Idan. Tumbuh jadi anak yang baik ya, sukses kayak Papi. Ya? Janji?”

“Iya, Mah. Idan nanti mau kayak Papi, jalan-jalan traveling bikin film kayak Om Sutradara.”

Aku berusaha tersenyum. “That's my boy. Mamah sayang Idan.”

Aku lantas memaksa diri untuk bangkit dan tak lagi menengok ke Aidan yang melambaikan tangan padaku.