“Mamah!” Suara Aidan yang terdengar dari luar, membuat kaki berat melangkah. Seharusnya aku tetap di kamar, membiarkan ayah dari anak itu nelangsa sendirian. Tetapi saat senyum Aidan mengembang di depan pintu, tangisku pecah. Aku berlari menghampiri Aidan yang merentangkan tangannya lebih dulu.

“Dan,” aku balas memeluknya erat. “Mamaaaaaaaah, Idan kangen sama Mamah!” ujarnya, ia melonggarkan peluknya kemudian, lalu menyerahkan lukisan yang ayahnya kirimkan melalui WA kemarin malam.

“Idan bikin ini buat Mamah?”

Anak itu mengangguk kuat. “Di sekolah kita ada Appreciate Parents Day, Mah. Terus Idan bikin buat Mamah, harusnya ini disini tangannya Mamah, tapi Mamah gak pulang-pulang, jadinya pake tangan Papi. Terus, temen Idan nanya, 'tangan mamah kamu gede banget, kaya armagedon' Idan marahin aja yang bilang gitu.”

Aku kontan tertawa mendengar cerita polosnya, “Makasih sayangnya Mamah nomer satuuuuu!” Aku mengacak rambutnya setelah itu.

“Nomer dua siapa, Mah? Papi ya?” tanya Idan yang membuatku terenyak. Aku tahu kini tatapan Jordy lurus-lurus tertuju padaku, namun aku memilih untuk tidak menggubrisnya.

“Idan udah makan?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. “Masuk ke dalem yuk, mendung entar lagi ujan.” Aku menggenggam tangannya, dan mengajaknya masuk ke rumah. Tetapi anak itu enggan melangkah. Ia mendongakkan kepala sambil menatapku, “Papi enggak disuruh masuk, Mah?”

“Dan, Papi masih harus balik syuting. Nanti malem Papi jemput Idan di sini ya, temenin Mamah. Jangan nakal, ya.”

Seakan tahu jika kami masih perang dingin dengannya, Jordy langsung menghindar dengan menuju mobilnya.

Begitu ia tak lagi terlihat lagi di sekitarku, Aidan tiba-tiba berbisik padaku. “Mah, papi kemaren sakit, sampe muntah.”

Aku cukup terkejut mendengarnya, sebab yang kutahu, mantan suamiku adalah orang yang sangat menjaga pola makan dan menjalani pola hidup sehat, meski kadang ia masih sering merokok.

“Kok bisa Dan?”

Aidan mengangkat bahu. “Papi bilang jangan kasih tau Mamah.”

“Terus kok Idan ngasih tau?”

“Mamah kan istrinya Papi.”

Aku hancur mendengarnya.

Usai berkata demikian, anak itu berlari masuk ke kamar, menghampiri Dhea yang sedang mengerjakan PR sekolahnya. Teriakan bahagianya terdengar hingga keluar, dan bukan cuma itu, gelak tawa Aidan yang dulu menjadi penghias dan penyemangatku di rumah Jordy juga menggaung, memenuhi seisi rumah Bulik Ratih.

“Dan.” Aku membuka pintu kamar Dhea. “Ya, Mah?”

“Papi salah makan?” tanyaku hati-hati. “Papi enggak mau makan malah. Tadi aja cuma Idan yang makan. Dari pagi Papi belum makan apa-apa, cuma minum kopi aja.”

Aku membisu. “Jadi dua hari Papi nggak makan?”

“Papi makan sih, Mah. Tapi sedikiiiiit banget. Terus yah, Mah,” anak itu menjeda ucapannya.

“Papi kemaren tidur di kamar sambil meluk baju Mamah.”

Mataku berkaca-kaca, duniaku serasa terputar-putar. “Papi bilang sama Idan, katanya Papi bukan orang baik. Papi nakal sama Mamah.”

“Emang Papi ngapain, Mah?” tanya Aidan polos. “Nggak, Dan. Papi bohong aja itu sama kamu, Papi baik kok sama Mamah.”

Anak itu mengangguk setuju. “Waktu Mamah pergi, Papi masa minta maaf sama Idan. Tapi Idan nggak ngerti kenapa Papi minta maaf. Soalnya kan Papi kemaren jagain Mamah pas sakit. Idan juga boleh main seharian sama Kakak Dhea dan Mba Erna. Idan gak disuruh belajar. Papi kenapa minta maaf ya? Padahal Papi baik.”

Aku tersenyum kelu, bahkan untuk menjawab rasa penasaran anakku saja, aku tak sanggup untuk mengatakannya, ia masih terlalu kecil untuk tahu bahwa ia adalah korban keegosian kami.

“Kalo gitu, Mamah juga minta maaf sama Idan,” kataku menahan tangis.

“Ih! Apa sih?” Anak itu menggerutu. “Lebaran kan udah lewat. Ngapain pada minta maaf?”

“Yah, Dan. Namanya minta maaf kan gak harus nunggu lebaran,” aku mengekeh. “Sebenernya Idan sedikit ngambek sama Mamah. Tapi dikiiiiit aja.”

“Kenapa?”

“Karena Mamah gak pulang-pulang, Idan takut Mamah enggak pulang terus pergi, terus sakit kayak kemaren. Surga Idan nanti ilang.”

”...Surga Idan?”

“Kata ibu guru surga di telapak kaki ibu, bukan di telapak kaki ayah. Kalo Mamah pergi, nanti yang jadi surganya Idan siapa?”

Aku tertawa dalam kondisi air mata yang meluap. Rasa bersalahku kian melebar pada Aidan sebab anak itu benar-benar menyayangiku dengan tulus.

“Mamah, nanti ikut pulang kan, Mah?” “Pulang ke...mana?”

“Hotel sama Papi sama Idan.”

Aku diam seribu bahasa dengan perasaan memburu. Dadaku tercekat karena keputusanku dan ayahnya untuk bercerai, adalah sebuah perpisahan yang paling menyakitkan untuk Aidan.

“Idan mau bobo sama Mamah!” katanya, memainkan tanganku.

“Dan...”

“Papi sama Mamah sekarang udah jadi temen baik. Tapi, Papi sama Mamah tetep orang tua Idan.”

“Oh, suami istri itu temen baik yah? Berarti aku sama Nono suami istri dong Mah?”

Dhea di ujung kasur, terbahak mendengar jawaban Aidan, lalu dengan suara pelan ia berceletuk, “wis toh Mbak, seh tresno kok ditahan? Ngko bojomu lungo, nangismu tambah mbanter.”

“Diem lo! Gue lagi kemusuhan!” aku membalas judes. Dhea langsung bungkam dengan penuh rasa bersalah.