Linked Love

“Mas,” panggilku pada Jordy yang masih sibuk menatap laptop. Benar kata Aidan, dia sama sekali tak tersenyum. Jangankan senyum, menengok ke arahku pun sepertinya dia alergi.

“Ini makanannya aku taro sebelah sini ya,” ujarku pelan. Kulihat rahangnya mengeras dan raut mukanya serius menatap laptop.

Jordy membisu bahkan disaat aku mendekat. Kurasa meninggalkannya sementara waktu akan membuat moodnya lebih baik, ketimbang harus melihat dia dengan tatapan seperti itu. Aku pun menjauh, berjalan menuju pintu kamar.

“Ri.” Dia tiba-tiba saja memanggil. “Ya?”

“Kamu denger kan tadi pagi saya bilang apa? Atau sengaja bikin saya marah?”

Aku berbalik menghadap Jordy. Ia menepikan semua kertas-kertas skenarionya yang berserakan dan cuma menatapku dengan pandangan dingin.

“Kamu tau kan kerjaan saya banyak? Aidan juga udah sekolah minggu depan.”

”...Kalau emang buat kamu liburan ini nggak ada artinya, lets back to Jakarta. Saya gak mau buang waktu. Kita bisa vidcallan kalau nanti ada perlu soal Aidan.”

Aku makin ciut mendengar nada bicara Jordy yang tegas. Kalau kayak begini, udah deh, lebih baik diam daripada apinya melebar. Ya kalau dipikir-pikir, aku memang salah sih...

“That's what you want, right?” Pandangannya turun ke skenario, sementara aku...mematung menatap Jordy yang mulai lelah denganku.

Aku tahu, tak semestinya aku bicara seperti tadi. Aku salah dan aku mengakui itu. Melihatnya berubah dingin, membaca keluh kesahnya tentang bagaimana dia menahan sabar padaku...aku merasa seperti orang bodoh, padahal aku tahu jelas apa yang kuinginkan.

Aku menghela nafas dalam-dalam sambil mendoakan keputusan besar yang akan kupilih bersama Jordy.

“Mas Jordy.” “Kenapa—” “...Kalo pulang ke Jakarta, aku boleh ikut?”

Air muka Jordy menghangat, terpancar jelas di wajahnya. Ia tersenyum perlahan, dengan tangan yang terlingkar pada pinggulku.

Tawa renyah Jordy mengalun di telingaku. Ia mendekat hingga tak lagi memberi celah bagiku untuk beranjak. Sejak berpisah darinya, aku belum pernah merasakan hari terbahagia seperti saat ini.

Kami benar-benar menikmati waktu berdua siang itu. Jordy sempat berkaca-kaca dan speechless usai mendengar jawabanku.

“Happy?” tanyaku seraya mengusap lembut wajahnya. Dia mengangguk kecil, kemudian tersenyum. Dan... melakukan tabiat bibirnya yang sulit diubah. Selalu mencuri kesempatan ditengah himpitan kehidupan.

“Beyond,” jawab Jordy dengan senyuman lebar usai menautkan satu kecupan di bibirku.

“Jangan marah-marah sama anak kantor lagi,” bujukku yang membuatnya sedikit kaget.

“Tau dari mana? Jenan?” “Ada deh.”

“Siapa?” “Adaaaaa...”

“Renjana?” Aku tak menjawab namun sengaja memasang tampang jahil.

“Btw, kamu gak pernah bilang kalo Renjana dulu mantan kamu. Kenapa?”

“Ngapain juga mesti bilang, orang udah lama banget.”

Jordy mencibir, “Pantes aja, Renjana mati-matian pengen kamu kerja di saya.”

“Nggak begitu, Mas. Emang dulu ditawarin karena katanya kamu butuh figuran,” kataku membeberkan alasan yang sebenarnya. Jordy melirikku sejenak, lalu mendekatkan dirinya padaku.

“Ma.” Bener-bener nih orang, dia paham akan titik lemahku.

“Hmm?”

“Let's married again.”

Percayalah dia kembali melamarku tanpa cincin, tapi untuk langsung menerima pinangannya... Aku belum bisa jawab sekarang. Banyak pertimbangan yang bersarang dalam kepalaku.