Mentari Untuk Aidan

“Aidan gimana, Mentari?”

Tanpa ada kata terima kasih yang mengalun dari bibirnya, Jordy bertanya padaku. Lelaki itu menatap putranya yang terbaring di ranjang berukuran queen size, berselimutkan bed cover abu. Pandangannya cemas. Ia berjalan mendekati Aidan lalu duduk di tepi kasurnya. Tangannya terjulur, meraba dahi Aidan.

“Belum turun juga ya?” tanyanya padaku.

“Tadi udah saya kasih minum sanmol dan bikinin bubur, Pak. Tapi buburnya enggak habis,” jawabku dengan menunjuk ke mangkuk bergambar mobil-mobilan.

“Mau makan tapi dia?” tanya Jordy lagi. Dia berdecak resah, terlihat kacau dan bingung karena Aidan tiba-tiba panas tinggi.

“Mau, tapi sedikit banget. Dua sendok, terus dia tidur setelah minum obat,” ucapku. Jordy mengangguk sembari sibuk membuka kotak P3K, dan mengambil termometer digital. Segera ia selipkan di ketiak Aidan. Lima detik kemudian alarm dari termometer itu berbunyi, menunjukkan angka tiga puluh sembilan derajat. Aku tercengang bukan main. Angka segitu sangatlah berbahaya buat anak-anak seperti Aidan.

“Pak, ini tinggi banget????” Aku melotot heran.

“Aidan sering banget kayak begini,” keluhnya dengan muka lesu. Aku di sebelah Jordy, mencoba memegang lengan Aidan yang justru terasa dingin. Bukankah seharusnya tubuhnya panas? Kenapa malah hawa dingin yang keluar.

“Pak, ini Aidan kenapa dingin banget badannya?”

“Ah, ngaco. Orang panas begini!” elak Jordy.

“Dingin, Pak. Badannya dingin banget. Bawa ke rumah sakit deh, Pak. Bahaya.”

Aku terdiam sebentar sambil mengelus lengan Aidan.

Entah mengapa, di kali kedua aku menyentuh kulit anak itu, ada sesuatu yang dingin ikut menyapu kulitku. Mencengkram lenganku kuat, lalu di sekitaranku terdengar sebuah bisikan mengerikan yang berkata,

“Jangan sentuh anak saya. Jangan bawa dia ke dokter. Dia harus ikut saya pergi. Dia tidak pantas berada di sini, dia harus ikut bersama saya!”

Suara itu menggeram amat jelas di telingaku. Sejujurnya aku amat ketakutan, tapi aku lebih memilih menyembunyikannya dari Jordy, sebab aku yakin jika aku menggubris bisikan itu, sesuatu yang buruk pasti akan terjadi pada Aidan.

Saat Jordy tengah sibuk menyiapkan pakaian Aidan untuk ke rumah sakit, aku mendekati Aidan, melafalkan ayat-ayat Al-Quran dan Ayat Kursi di telinganya.

Tak kusangka, dadaku membuncah hebat. Rasanya sangat sesak, seperti ada sesuatu yang menekan dadaku dari belakang. Sementara aku terus berusaha khusyuk berdoa, aroma wangi rempah yang pernah Jordy pakai waktu itu mengelilingi aku. Aku tak mengerti mengapa aroma itu tak kunjung hilang setiap kali aku berusaha dekat dengan Idan.

“Saaaaakiiiiiiiiit!!!!” Aidan berteriak, tanganku kontan terlepas, dan Jordy segera menengok ke anaknya. Syukurlah, meski tadi aku sempat merasa sesak, setidaknya wajah Aidan sudah tak sepucat tadi. Wajahnya kembali merona.

“Kamu ngapain anak saya?!” Jordy bertanya gusar, mendorong kasar tanganku.

“Kamu ini! Saya suruh jagain Aidan malah nyakitin dia! Sana!” sergahnya menjauhkanku dari putranya.

Aku tidak punya pilihan lain selain diam, karena meski kujelaskan dengan logikaku, Jordy 'penuh logika' Hanandian tidak akan pernah menerimanya.

Alhasil aku cuma menuruti perkataanya, berjalan pelan meninggalkan Aidan dan Jordy yang tengah memeluk anaknya.

Sebenarnya sesak itu kembali terasa. Namun aku tahan setengah mati sambil terus membaca ayat-ayat suci dalam hati. Saat aku mengedarkan tatapanku ke seisi kamar Jordy, Aidan yang tadi kulihat jelas, mendadak samar dalam pandanganku. Yang pelan-pelan tampak justru satu sosok menyeramkan yang berusaha mencengkram leher anak itu.

Mulutku kelu untuk menyampaikannya pada Jordy. Seakan terkunci rapat, aku bagai dihalangi oleh sesuatu yang aku sendiri tak tahu seperti apa bentuknya.

“Pak, t-tolong! T-tolong peluk Idan sekarang!” pekikku terbata-bata.

“Apaan sih kamu?!” Jordy justru menepis omonganku.

“Pak, sekarang,” mohonku. Tangisku seketika pecah, sebab apa yang melintas di depan mataku betul-betul mengerikan.

Tubuh Aidan membiru, bibirnya pucat. Dan sosok menyeramkan itu tetap duduk di sebelahnya, menjulurkan tangan seraya mengelus lengan Aidan. Sungguh, aku berharap semua yang kulihat ini hanyalah mimpi buruk semata.

“PAK SEKARANGGGG!” Sebut saja aku gila, yang penting anak itu harus tetap berada di dunia.

Untungnya walau Jordy tampak linglung, ia masih mau mendengar perkataanku. Ia memeluk putranya kuat-kuat, sedangkan aku beranjak pergi meninggalkan kamar Jordy.

Lututku lunglai, tenagaku bagai terkuras banyak. Aku jatuh tersungkur di lantai, persis di depan pintu.

Kudengar Jordy sempat memekik, memanggil nama Aidan dari dalam. Semoga saja doaku terjabah oleh Allah, Aidan tak lagi didatangi sosok menyeramkan itu.

“Bagaimana, Jordy? Seru, kan?”

Sebuah suara menghentikan segala aktivitas yang sedang Jordy lakukan. Ia yang tengah meletakkan beberapa pakaian tidur Aidan ke lemari, langsung menengok ke belakang.

“Mentari?” Jordy mengernyit heran.

“Kok kamu bisa di sini?”

“Saya tidak suka perempuan ini!” Tanpa menjawab pertanyaannya, Mentari tiba-tiba menjerit penuh amarah.

Sorot matanya sangat memburu. Tangannya mengoyak pakaian dan menjambak rambutnya sendiri.

“Dia menggagalkan rencana saya untuk membawa Idan pergi! Dia membuat saya marah! Dia harus mati!” geramnya.

“MENTARI!” Jordy kaget setengah mati saat Mentari bergerak mengambil gunting di dekat meja belajar Aidan. Di depan mata Jordy, Mentari menggores tangannya menggunakan gunting tajam itu. Darah mengalir deras dari pergelangannya. Tanpa banyak bicara, Jordy langsung merampas gusar gunting itu, lalu berusaha menghentikan darah yang tersisa di sekitar lengan Mentari menggunakan kain tebal.

“Kita ke rumah sakit sekarang.” Dengan sekuat tenaga Jordy mencoba mengangkat tubuh Mentari, namun entah mengapa ia merasa sangat berat. Agak tidak masuk akal karena meski Mentari agak gemuk, seharusnya ia tak seberat ini.