More Than Words

Hari itu...adalah hari yang paling terang bagi seorang Tara Aditya. Tiga tahun lamanya ia hidup dibalik jeruji, berteman dengan gelapnya arus dunia. Berteman dengan kelamnya kehidupan akibat keegoisannya sendiri.

Tara amat menyesal telah menyakiti satu-satunya perempuan yang pernah menjadi rancangan dalam masa depannya. Ia rusak hingga perempuan itu terluka dan pada akhirnya... perempuan itu pergi, berkelana dan berhasil menemukan kebahagiaannya.

Ini bukan tentang perlombaan. Siapa yang lebih cepat bahagia dia pemenangnya. Bukan.

Melainkan perempuan itu memang sudah sepantasnya berbahagia. Sudah sepantasnya ia berlabuh pada peluk hangat seorang yang juga begitu menginginkannya.

Tara sadar jika dirinyalah yang salah. Ia pantas ditinggalkan oleh perempuan yang kasihnya begitu tulus terhadapnya. Juga sang putri, yang seharusnya menerima kasih sayang utuh darinya.

Ia pantas menerima ini semua.

Maka tanpa mengeluarkan sepatah kata, lelaki itu berjalan meninggalkan lapas yang telah lama menjadi tempat persembunyiannya dari segala kesalahan. Ia menegakkan kepala, siap menyambut hidup barunya. Tanpa hadirnya seorang wanita tulus, dan tanpa peluk cium dari putri kesayangannya, Eleanor.

“Daddaaaaaa!”

Ini pasti mimpi. Lelaki itu mengembuskan nafasnya, ia tertawa miris kala mendengar suatu suara dari depan. Ini pasti mimpi, Tara kembali meyakinkan diri. Tidak mungkin anaknya bersedia menerima kepulangannya kembali.

Tara terus melangkah, kepalanya tertunduk malu.

“Dadddaaaaaaaaa!” Suara ceria itu semakin terdengar nyata.

Tara yang mengira dirinya sedang berhalusinasi, sampai menghentikan langkahnya. Membeku di persimpangan jalan. Mengangkat kepalanya.

Tepat di hadapannya kini tampak seorang gadis kecil yang berjalan ke arahnya.

Gadis itu tidak sendiri. Ia datang bersama perempuan yang dulu menjadi bahagianya Tara, dan juga seorang pria.

Tara tertegun. Sekian detik setelahnya, dirinya seperti terjerembab dalam penyesalan yang sungguh dalam. Membuat kaki Tara terasa berat melangkah, namun ia tidak memiliki pilihan lain, selain mengikhlaskan perempuannya jatuh ke pelukan lelaki yang lebih baik.

“Daddaaaaaaaa!” Gadis kecil nan lugu itu menghambur peluk pada tubuh Tara. Sementara Tara hanya bisa menggantungkan tangannya, merasa tidak pantas menerima peluk hangat dari putrinya.

Butiran kristalpun tak pelak mengalir di pipinya. Dengan suara gemetar, Tara berkata,

“Halo...Nora...Kamu udah gede banget, Sayang. Maafkan Dadda ya, Nora. Maafkan Dadda...”

Hanya itu yang sanggup Tara katakan ketika kedua netranya bertukar pandang dengan sang gadis kecil.

“Iya, Dadda. Dadda selalu yang terbaik, Dadda. How are you? Dadda kurusaaaan!” kata anak itu yang makin menghancurkan hati Tara.

“I—” Bahkan untuk menjelaskan pada putrinya pun, bibir Tara amatlah kelu. Terlalu berat baginya untuk menjelaskan duduk perkara masalah yang menimpanya.

“Ra.” Selain suara ceria yang mengalun bak melodi indah dari putrinya, ada satu suara lagi yang membuat Tara seketika menengok ke sumber suara.

“Nya...” Belum sempat Tara kembali mengucapkan sepatah kata, lagi-lagi Tara goyah. Ia menangis penuh penyesalan.

“Maafin aku, Nya...Aku minta maaf sekali...” Tara sampai bersimpuh di bawah kaki wanita itu.

“Udah terjadi, Ra...” ujar sang wanita singkat. “Nggak usah minta maaf sama aku. Yang penting kamu baik-baik aja sekarang.”

“A-aku baik-baik aja, Nya.” Tara tersenyum kecil, kemudian melirik lelaki bertubuh atletis di sebelah Anya yang tangannya terlingkar pada pinggul Anya.

Dulu Tara-lah yang memeluknya seperti itu, dulu, Taralah yang menjadi tempat wanita itu berkeluh kesah, sebelum perangai mereka terjadi. Sadar jika waktu tak dapat ia putar kembali, Tara memilih melempar pandangannya ke arah lain, ke putri kecilnya, Eleanor.

“Dadda, Dadda. Nora punya adikk. Namanya Elaine!” Gadis ceria itu menunjukkan foto seorang bayi yang dibaringkan di pangkuannya. “Isn't she cute?”

“Very cute. Just like you. Jagain adik Elaine ya Nora. Nurut sama Papa dan Mama,” kata Tara seraya menebar senyum tulus. Nora mengangguk penuh antusias. “Pinternya anak Dadda,” puji Tara, memeluk singkat sang putri.

“Sh...aka, ya?” Kali ini Tara menggeser tubuhnya dan berdiri berharapan dengan Shaka, lelaki yang pernah ia kata-katai, yang pernah ia larang keras dekat dengan putrinya. Namun ternyata Tara salah. Lelaki itu berubah menjadi malaikat pelindung sang wanita beserta putrinya.

“Iya. Shaka,” balas pria di depan Tara itu.

“Thanks, Ka,” ucap Tara kikuk. “No worries. Yang penting sekarang semua udah baik-baik aja.”

“Kalau ga ada lo, mungkin semuanya masih kayak dulu, Ka. Maaf ya waktu itu gue...”

“No. Don't say sorry. Semua udah terjadi, Ra. I hope the best for you.” Pria bernama El Shaka itu tersenyum. Hangat dan terasa tulus.

“Thank you, Ka. Gue titip Nora sama Anya, ya..” ujar Tara.

“Siap, siap. Ah, kayak mau kemana aja lo. Nora sama Anya juga bakalan sering ketemu lo kok.”

“Hah?” Tara terlihat amat kaget mendengar ucapan Shaka. Dari sekian banyaknya penilaian Tara yang jatuh pada El Shaka, ada satu hal yang membuat Tara mengagumi Shaka.

Lelaki itu begitu berbeda dari Tara. Dia sangat berjiwa besar. Pengertian. Pantas sajalah jika wanitanya jatuh hati kepada laki-laki itu. Padahal saat ini Shaka punya hak yang jauh lebih besar daripada dirinya, tapi Shaka masih memperbolehkan Tara bertemu dengan mantan istri serta anaknya.

“Biar gimanapun...lo ayah biologisnya Nora. Gue gak punya hak untuk memutuskan hubungan kalian. Dan, gue udah diskusi lama sama Anya jauh sebelum kita nikah. Gue nggak mau Nora punya pemikiran buruk tentang lo. You know, everybody made mistakes, Ra. Lo punya banyak kesempatan untuk memperbaiki diri. Perbaikin hubungan lo dengan Nora juga.”

Astaga, demi Tuhan Tara ingin menangis lagi saat itu. Mantan istrinya betul-betul jatuh pada peluk yang semestinya.

Merangkul bukan menjauh.

Tara merasa sangat malu pada mantan istrinya terlebih pada sang putri. Usia Tara dan Shaka boleh terbilang jauh, tetapi kedewasaan jauh lebih dikuasai Shaka ketimbang dirinya.

“Thanks a lot, El Shaka. Thanks a lot.” Tara berucap sungguh-sungguh, kemudian pandangannya beralih pada mantan wanitanya. Tatapan Tara terhadapnya kini tak seperti dulu, selalu dingin dan penuh dengan kemarahan, melainkan sangat tulus dan lekat.

“Nya, makasih banyak juga ya. Makasih banyak sudah memberi dukungan moril ke aku dan jagain Nora selama aku di lapas.” Tara berujar, kemudian ia menarik nafas pelan.

“Happy mothers day, Nya. Maaf aku ngucapinnya dengan baju kayak begini. Terima kasih sudah pernah menjadi bagian dari hidupku, dan menjadi ibu dari anak aku. I hope the best for you. Be happy as always. Semoga selalu langgeng sama Shaka...”*

Perempuan itu tak dapat menyembunyikan keterkejutannya kala Tara dengan berani memberinya ucapan selamat hari ibu.

“Thanks, Tara,” jawab wanita itu tersenyum kecil.

“Sama-sama. Aku pulang dulu ya. Nora..” Tara berjongkok, mensejajarkan posisinya dengan sang putri.

“Makasih udah jemput Dadda hari ini. Makasih sudah menjadi anak yang cantik, kuat dan pemberani. Jaga Mama dan Elaine ya, Nora. Dadda mau ketemu Nenek dulu. Besok kita jalan-jalan ya, Princessnya Dadda.”

Sang putri tersenyum dan menganggukkan kepala. “Iya Dadda, besok jangan lupa jemput Nora yaaa!”

“Iya, Nak.” Tara menjawab dengan pandangan haru, lalu ia membalik tubuhnya, meninggalkan anak serta mantan wanitanya untuk mendapatkan kebahagiaan yang lebih utuh.