Namanya Juga Anak TV

“Namanya juga anak TV.”

Renjana duduk berjongkok di depan Tari seraya menyeruput kopinya dalam-dalam. Sedangkan gadis di hadapannya tertawa pahit usai dibuat kaget oleh perlakuan bos mereka yang ternyata serupa dengan macan di alam liar. Alias buas sekali!

Selama hampir hidup selama dua puluh delapan tahun, Mentari tidak pernah menemukan ada lelaki macam Jordy.

Mungkin penyebabnya karena dia hanya bergaul dengan anak baik-baik.
Mantannya saja modelan Renjana yang lempeng seperti jalan tol Gatot Subroto.

Diperkenalkan di dunia seperti ini tentu menambah kecemasan Tari. Lihat saja bagaimana pucatnya wajah perempuan itu sekarang. Dia bahkan tak berani membalas chat atasannya.

“Jujur, gue gak nyangka dia sejenis Jenan. Kelamaan ngeduda kali ya?” gumam Tari keheranan.

Renjana meresponsnya dengan kekehan. “Jordy, Jenan dan Teza tuh sempet dijulukin Tri Mas Getir, sama anak-anak sini, Ri. Perkara emang mereka doyan main cewek. Apalagi Teza sama Jenan. Teza barusan bercerai sama mantan istrinya, kalau Jenan, udah nikah dua kali, terus cerai juga sama istri sirinya.”

Mentari bergidik ngeri mendengar penuturan Renjana tentang perilaku tiga bosnya tersebut, persis seperti kawanan ibu-ibu komplek jika melihatnya pulang larut malam, gadis itu memasang tampang antusias, tak sabar mendengar gosip selanjutnya. “Anjir, gue kira Mas Teza single.”

Renjana tertawa, “Lo kira? Teza tuh udah beristri tapi dulu. Mereka cerai, perkara si Teza belum kapok main cewek.”

“Oh ya? Padahal gue kira dia paling bener.”

“No, lo salah. Dari mereka bertiga, yang udah tobat tuh sutradara rempong itu, Jordy.”

Mentari berdecih saat mendengar nama itu keluar lagi dari mulut Renjana, tak sudi rasanya.

“Yaelah, buta mata lo? Apa minus lo nambah? Dia ngelecehin gue!!” Mentari menyanggah berapi-api.

“Kalau soal yang satu itu gue cukup surprise sih, Ri. Mengingat dia sangat setia sama mendiang mantan istrinya.”

“Meninggalnya kenapa sih?” tanya Mentari.

“Sakit, kanker pankreas.” Seketika Mentari membungkam. Penyakit itu juga yang merengut ayah Mentari beberapa tahun lalu.

Sedihnya masih membekas hingga sekarang. Bagaimana tubuh segar bugar sang ayah mengurus bagai kerangka, kulitnya kuning dan wajahnya begitu pucat. Sangat memilukan.

“Sori...” Renjana berucap pelan saat sadar jika penyakit itu juga meninggalkan trauma besar dalam hidup Mentari.

“Sorry.” Ia berkata sekali lagi penuh sesal, tatapan ikhlas pun terlayang pada Renjana sesaat Mentari menatapnya.

“Mending bokap hepi lah, daripada hidup tapi tersiksa. Kalo gue gak relain, kasian ntar di akhirat.”

“Widihhh,” Renjana bertepuk tangan. “Seandainya sutradara rempong itu bisa kayak lo. Udah nikah lagi kali dia.”

“Ha?”

“Mentari.” Satu suara tiba-tiba saja menghentikan percakapan mereka. Renjana tampak waspada, menengok ke belakang dengan rupa panik nan ketakutan. Sedangkan Mentari masih sibuk mencerna tatapan Renjana yang tiba-tiba saja kalut.

“Apa sih, Ren?” Dua alis Mentari bertaut kebingungan.

“Mentari Gaudina!” Satu bentakan sukses mengangkat kedua bahu Mentari. Ia langsung menoleh ke belakang dan ternyata...

“Layanin saya.”

“BAPAK JANGAN MACEM MACEM YA!” Mentari menatap sang pemilik suara itu dengan pandangan berkilat-kilat. Murkanya hempas ke udara saat lelaki itu dengan bebas melipat tangan di depan dada, seolah berkata dialah yang punya kuasa atas tubuh ranum Mentari.

“Bangsat!” Mentari tak peduli apalagi yang akan dilakukan Jordy setelah menyaksikan dia meludah ke arahnya.

“Layanin saya! Bikinkan saya kopi!”

“SAYA BUKAN PEREMPUAN SEMBARANGAN, PAK!”

“Siapa juga yang mau ngapa-ngapain kamu?”

Renjana yang terhimpit dalam situasi ini pada akhirnya melangkah mundur. Dia takut pekerjaannya hilang dalam sekejap kalau-kalau melawan si harimau benggala di depannya itu. Dan tak sampai beberapa detik Renjana berhasil tak terjangkau oleh iris mata Mentari.

'Anjing emang Renjana! Malah gue ditinggal!' Mentari meracau kesal dalam hati.

“Cepet,” kata Jordy dengan nada perintah.

“Nggak mau.”

“Keluarnya cepet.”

“WTF??”

“Keluar dari sini, cepet! Kopi saya, kertas skrip saya. Bawakan semuanya.”

“Saya bukan pembantu, Pak.”

“Kamu itu,” telunjuk Jordy mengarah pada Mentari. Dengan muka meringis kesal dan helaan nafas frustasi, Jordy berkata pelan,” kamu itu PEMBANTU UMUM. Wajar kalau saya minta ini itu sama kamu. Bukan seperti apa yang kamu pikirkan.”

Mentari terdiam. Sorot matanya yang tadi menyalak, seketika meredup tatkala Jordy menjelaskan maksud 'layani saya'-nya itu. Otak kecil Mentari memang selalu demikian. Ada saja tingkahnya. Kalau tak terpakai untuk overthinking sehari saja, sepertinya tidak bisa.

“Ngerti?” ulang Jordy.

“Iya, Pak. Ngerti.” Mentari menjawab lesu, lalu ia berjalan pelan meninggalkan Jordy.

“Tunggu.”

“Apalagi ya, Pak?”

“Senin besok CV kamu drop di HRD.”

Mentari makin dibuat pongah oleh ucapan Jordy barusan. “Maksudnya, Pak?”

“Sudah lakukan saja. Saya butuh tim ekspedisi dan resepsionis.”

“Pak...” Lamat-lamat senyumpun merekah di wajah Mentari. “Bapak nyuruh saya kerja di Bapak, gitu?”

“Mau apa enggak? Kalau enggak silakan pergi dari sini.”

Mentari yang tak sadar saking girangnya langsung menyalami tangan Jordy. Berkali-kali ia menempelkan punggung tangan Jordy di dahinya, hingga lelaki itu menarik tangannya dengan gusar.

“Sadar sama posisi kamu? Kamu bawahan saya. Jangan ngelunjak.” Lelaki itu berujar angkuh.

“Maaf, Pak! Saya cuma terlalu excited. Makasih banyak, Pak. Bapak mau saya ngelayanin Bapak apalagi, Pak?”

Mendengar cerocosan panjang lebar Mentari lelaki itu tampak tak nyaman dengan ucapannya. Konotasi 'layanin' terdengar amat mengganggu hingga ia memutuskan untuk meralatnya. “Jangan. Jangan bilang layanin deh.”

“Baik, Pak. Mau kopi? Gorengan? Nasi Goreng? Apa, Pak? Biar saya pesankan.” Mentari terlihat begitu bersemangat.

“Ikutin aja semua yang ada di list breakdown syuting.”

“Baik, Pak Jordy.”

Mendengar namanya tak lagi disebut 'Ody', Jordy bernafas lega. “Panggil saya seperti itu. Pak Jordy. Ngerti?”

Mentari menganggukkan kepala. “Siap, Pak Jordy.”

“Oke sana kerja.”

“Baik, Pak. Terima kasih.”