Ngerayu Idan Sunatan
“Idaaaan gak mau!!!!!”
Suara Aidan membelah seisi rumah. Wajahnya merengut dengan kedua pipi bulatnya yang merah. Bersembunyi di belakang Mentari yang tengah menggendong Kiori.
“Mamaaah, Idan takut, gak mau disunat...”
Dan setelah itu raungannya terdengar. “Idan, Sayang... Nggak apa-apa, sakitnya sebentar aja, kok. Kan udah besar...”
“No, Mamaah. Nooooo!” Ia berlari ke belakang lemari.
“Aidan Alvaro.” Kali ini saya yang bersuara, tubuh anak itu langsung membungkuk takut.
“HUAAAAAAAAA.” Dengan cepat saya menggendong Aidan serta menyeka air matanya. “Nanti sama Papi, Papi temenin.”
Isakannya sempat terhenti, namun lima detik kemudian, Aidan kembali berteriak.
Mentari yang sedang menggendong Kiori, mengusap punggung Aidan lembut. “Idan, kalo anak Allah kan harus disunat, Sayang.”
“Idan mau disunat tapi Mamah harus ikut ke dalem!”
“Terus kalo adek nangis gimana Idan?” tanya saya lembut.
“Papi temenin Adek sampe bobok! Idan mau sama Mamaaaaah!” teriaknya di telinga saya.
Saya sontak melirik istri yang juga menatap saya pasrah. Dengan lirikan mata yang mengisyaratkan saya untuk memberinya waktu berdua dengan Aidan, saya pun mengambil alih Kiori dari tangannya. Untung saja Kiori tertidur cukup pulas usai menyusu setengah botol.
“Sama Mamah sini yuk, Bang. Kita ngobrol sebentar ya. Mau?” bujuk Mentari sembari mengusap sisa air mata di wajah Aidan.
“Iya, Mamah.” Anak mengangguk, lalu mengekor Mentari dari belakang.
—