Nonchalant
“Babe.” Ketukan sepatu Jordy membuat mulutku tak berhenti merutuk dalam hati.
Emosiku bergulir sangat cepat bahkan saat ia datang di hadapanku dengan tampang bersalah.
“Babe, I'm sorry,” ujarnya dengan suara parau. Aku cuma bisa diam. Mulutku terlalu kelu untuk membalasnya.
“I should've realized from the start. Sorry, Sayang.” Peluk Jordy yang semestinya terasa hangat, bahkan tak berarti untukku.
“Aku salah... Aku tau,” katanya penuh sesal.
Lantas, bagaimana dengan rasa bersalahku pada Kiori dan Aidan?
Sampai detik ini, aku masih merasa mereka berdua sangat membutuhkan perhatianku lebih dari apapun. Sedang lelaki di depanku ini justru mengabaikannya setelah Kiori berusia 6 bulan.
Semua perhatiannya mulai luntur. Setiap aku memintanya pulang tepat waktu, ia kerap beralasan bahwa meetingnya diperpanjang.
Terus ia katakan begitu hingga aku muak dengan sendirinya.
“Kamu gak bakal ngapa-ngapain, kan...Ri?”
Nafasku terhela panjang. “Kamu pikir aku gila?”
“Sayang, I didn't mean to Aku cuma nany–”
“Aku pernah bilang sama kamu Mas, kalau mau nambah anak nanti, nggak sekarang. Tunggu Kiori umur dua tahun...”
“Aku juga pernah bilang kalau aku pengen fokus urus Idan dan Kiori... Aku belum siap. Karena berat waktu aku lewatin baby blues sendirian.”
”...Kenapa kamu diem aja dan gak bilang aku?” jawabnya usai satu dehaman.
“How many times do I have to tell you, that you can call me every single time, in case the baby needs something.”
Jawaban yang sangat pantas kuberi tepuk meriah ditengah gemuruh emosiku yang berkobar.
Bravo, Jordy Hanandian! You did a good job
Dengan suara parau serta sisa emosi yang mulai berganti air mata, kutunjukkan ponselku.
“Ini... INI YANG KAMU BILANG SELALU ADA BUAT AKU?!” Suaraku meninggi. Puluhan panggilan tak terjawab dariku untuknya sungguh membuatku lelah.
Hal itu terjadi saat Kiori berusia satu bulan lebih. Saat itu dia dinyatakan kuning oleh dokter anak, dan tepat ketika aku harus membawa Kiori ke rumah sakit, Jordy bilang dia harus ke Bandung bersama Devon.
Sementara kala itu waktu menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Aku terpaksa memanggil taksi lalu pergi bertiga dengan Aidan ke rumah sakit.
“Sayang...”
“Stop, Mas. Kamu gak pantes manggil aku begitu kalau kelakuanmu ga sama sekali nunjukin, kalo kamu sayang sama aku dan keluarga kita!”
Aku menjauh, benar-benar menjauhinya sebisaku. Dengan begitu aku merasa jauh lebih tenang dibandingkan saat aku bersamanya.