Orang Tua Dimabuk Asmara
“Kelamaan nggak nunggu akunya?” Pertanyaan itu tercetus ketika Mentari baru saja tiba di depan mobil Jordy. Sebenarnya tidak terlalu lama lelaki itu menunggu, hanya sepuluh menit. Mentari muncul dengan rambut ikalnya yang tergerai indah. Hari itu dia mungkin belum berdandan, sebab khawatir membuat Jordy menunggu terlalu lama.
“Nggak terlalu,” sahut Jordy dengan muka lempengn seperti biasa. Tetapi rautnya berubah hangat saat Mentari duduk di sebelahnya. Netranya otomatis terarah pada sibuknya kegiatan Mentari siang itu. Ia membuka pouch make up yang berisi peralatan dandan yang Jordy berikan beberapa waktu lalu.
“Kamu mau aku pake yang mana? Coba pilihin,” tanya Mentari menyodorkan beberapa pilihan foundation di hadapan Jordy.
“Ya saya mana tau, Mentari. Sama semua itu,” sahut Jordy pasrah. “Bedak kan?”
Perempuan itu tertawa kecil, “bukan dong, Mas. Ini tuh foundation, sebelum bedak. Lah kamu beliin waktu itu.”
“Saya gak langsung ke counter, dikabarin sama sekertaris waktu itu. Mesennya online.”
Mentari mengangguk paham, “Pantesan aja belinya segambreng,” gumamnya. “Aku bingung abisnya, mau pake yang mana.”
“Yang itu aja tuh.” Jari Jordy menunjuk pada foundation mahal yang paling enggan Mentari sentuh karena harganya selangit.
“Kamu cek nggak ini foundy-nya di harga berapa?”
Jordy kontan menggeleng. “Pokoknya waktu itu saya pesen ke sekertaris untuk cariin make up yang paling bagus di Plaza Indonesia.”
Mentari tercengang. “MAS YA ALLAH! Pantesan aja...” pekiknya sembari mengelus dada. Sementara oknum yang kartu kreditnya tergesek hanya memandangnya datar tak mengerti. “Emang kenapa? Itu kan pusat perbelanjaan.”
“Iya sih...” Mentari menyahut dengan nafas tercekat. “Mas, tapi mahal banget itu. Nggak ada yang di bawah lima ratus kayaknya. Pasti lima juta ke atas...” Ia memandang iba pada alat makeup nya.
“Ya enggak papa. Mending yang bagus sekalian daripada yang abal-abal,” respon Jordy masuk akal. “Jadi kamu nggak suka sama make-upnya?”
“Enggak, Mas. Bukan.” Tanpa Mentari sadar, tangannya mengelus lengan Jordy pelan. Lelaki itu sontak membalas, ia turut meletakkan tangannya di atas tangan Mentari, kemudian ia genggam sejenak.
“Terus apa?” Jordy kembali bersuara tanpa membiarkan Mentari melepas kaitan tangannya. Netranya terpusat pada sepasang mata bulan sabit milik sang gadis. Lekat, penuh makna tersirat di dalamnya.
“S-sayang duitnya aja,” jawab Mentari, menarik tangannya dari genggaman Jordy.
“Mas, ini udah mah jam dua, kita belum jalan-jalan dari tadi, nanti Aidan kelaperan.” Mentari mencari-cari alasan agar Jordy tidak melancarkan aksi berikutnya. Namun sayang perempuan itu tak begitu pandai berbohong. Pipi bulatnya merona merah, dan membuat Jordy tersenyum lebar karenanya.
“Iya, iya. Tapi tangannya gak usah kemana-mana,” sahut lelaki itu seraya menyetir dengan satu tangan. Mentari menelan ludah saat Jordy kembali menarik tangannya.
“Mas.”
“Hmm.” Jordy menggumam dengan pandangan yang tetap lurus ke depan, sementara ibu jarinya sibuk mengusap punggung tangan Mentari.
“Aku mau make up....” ujar Mentari menghela nafas. Lelaki itu tertawa kecil lalu perlahan melepas tangan istrinya.
“Lipstikan aja.”
“Nggak.”
“Ya udah eyeshadowan aja.”
“Nggak, kaya topeng monyet.”
“Ya udah blush on-an aja.”
“Itu makin kaya topeng monyet kalo kamu suruh aku cuma pake blush on.”
“Haha.”
Entah yang keberapa kali Jordy mengumbar senyum hari ini, begitu ia mendapati Mentari merengut, gelak tawanya kian melebar. “Ngambekan banget, kamu tuh.”
“Ngaca!” seru Mentari enggan mengalah.
“Ya udah, make up, make up.” Jordy mengacak rambut ikal Mentari yang baru saja sisir beberapa jam lalu. “Mas, kalo berantakan aku marah banget ya sama kamu. Sisirnya susah ini.”
“Saya rapihin pake jari juga bisa,” jawab Jordy sok tahu. Mentari menyipitkan mata.
“Mau pake karet gelang apa tangan?” Lelaki itu memasang tampang jahil.
“Hah?” Mentari merespon dengan wajah lugu.
“Nggak jadi, saya bercanda doang.” Jordy memungkas ucapannya ketika sadar bahwa istrinya ini begitu naif bahkan jauh lebih naif dari perkiraannya.