Pantaskah?

Bukan Vina tidak sadar jika dirinya hidup dibawah banyak tekanan yang diberikan oleh orang tuanya. Sejak Vina terpaksa drop out dari kampus karena kebanyakan absen, bisa dibilang ia cukup luntang-lantung demi menyambung hidup.

Mulai dari membuka warmindo sampai menjadi montir di bengkel dekat rumahnya, ia lalui dengan lapang dada. Vina tak pernah membayangkan hidupnya akan menjadi nestapa. Seandainya ayah Vina—Budi—tidak terlibat judi gelap dan hobi mabuk-mabukan, mungkin hidup Vina tidak akan semenyedihkan saat ini. Kedua orang tuanya kerap meminta dirinya untuk mencari pundi-pundi tanpa memberi ruang kepada Vina untuk rehat, hingga tak jarang membuat perempuan itu ingin untuk kabur dari rumah.

Bukan karena ingin lari dari tanggung jawab, melainkan mendengar ocehan yang kurang mengenakkan dari mulut ibunya.

“Kami ini orang tuamu, Nduk. Kamu harus berbakti pada kami, dengan merawat dan membiayai hidup kami sampai nanti kami gak ada lagi di dunia ini. Karena dengan begitu, rejekimu akan terbuka. Ndak usah ngomongin capek nyari duit. Kami lebih capek sudah mengurus kamu dari bayi sampai sekarang kamu dewasa.”

Pada saat mendengar kata-kata itu, batin Vina terkoyak. Seolah-olah ia dilahirkan hanya untuk menjadi sapi perah bagi mereka.

Rasa sayang tulus pada orang tua dalam hati Vina seketika sirna.

Pantaskah? Pantaskah orang tua menuntut balas budi pada seorang anak yang lahir dari rahimnya sendiri? Bahkan disaat anak itu tidak minta dilahirkan sama sekali.