“Papi, Idan nggak mau difoto-foto sama Om itu, gak sukaaaa!” Aidan merengek tiba-tiba disaat kami baru tiba di Bandara Soekarno Hatta. Ricuhnya wartawan serta lampu-lampu yang terlalu bersinar rupanya membuat Aidan tak nyaman. Ia langsung bersembunyi di balik badan saya, mencari Mentari yang berjalan tepat di sebelah kami.

“Aidan, happy enggak Papi Mamahnya balikan?” Satu pertanyaan terlontar dari bibir seorang wartawan. Saya tentu langsung meminta wartawan itu untuk menjauh dari Aidan. Ia tersenyum sungkan kala saya menatapnya dingin.

“Mas Jordy, gimana tanggapan keluarga Kirana setelah tahu Mas Jordy rujuk dengan Mentari? Apa Bu Recha marah? Apa gimana?”

“Ngomong dong Mas Jordy!”

“Mbak Riri gendutan nih pulang dari Bali. Isi yah, Mbak?”

“Tapi Mbak kan belum menikah lagi dengan Mas Jordy?”

Pertanyaan itu membuat Mentari amat terkejut, wajahnya kesal seakan menahan marah. Dan, sama seperti Aidan, Mentari hanya membisu, berupaya menganggap ujaran wartawan cuma angin lalu.

“Saya rasa Mas dan Mbak di sini nggak punya kapasitas untuk bertanya hal yang sifatnya pribadi bagi saya dan keluarga,” ucap saya tegas. Tapi yang namanya wartawan infotainment, memang susah dilawan meski kami tetap bungkam.

“Mas Jordy sekarang berubah banget ya, jadi lebih kaku. Nggak fun kayak dulu pas masih sama Almarhumah,” cibir seorang wartawan perempuan yang wajahnya tak asing bagi saya.

Ah! Saya ingat betul dia siapa. Fenia, wartawan dari Majalah Moda Fashion yang sering mewawancara Kirana. Hubungan mereka cukup dekat karena Kirana sering pemotretan untuk majalah mereka. Waktu Kirana masih hidup, Fenia kerap bertanya tentang keseriusan hubungan kami, dan saya menjawabnya santai. Tapi saat ini, fokus saya berubah. Saya lebih mementingkan kenyamanan Mentari dan Aidan, terlebih ketika sadar bahwa mereka tak suka dengan hingar-bingar dunia kerja saya.

“Bukan kaku,” saya hanya menjawabnya singkat, kemudian menggiring Mentari dan masuk Aidan ke dalam mobil.

Sesampainya di sana, Aidan baru terlihat rileks, demikian juga Mentari.

“Idan nggak apa-apa? Tadi takut ya?” tanya saya memastikan.

“Enggak takut, tapi Idan gak suka sama lampu-lampunya bikin mata Idan sakit, Papi.” Ia mengadu sambil mengusak mata.

“Kamu, Ma?” “Nggak apa-apa.” Tapi saya tahu Mentari berdusta.

“Someone must've asked an uncomfortable question to you,” telisik saya yang membuatnya gamang.

“Apa, Ri. Bilang.” “Di rumah aja ya, Pi? Kamu tenang dulu, jangan emosian gitu.”

“Oke. But let me know dia nanya apa.”

“That's pretty offensive. Saya sejujurnya mau perkarain, but since kamu bilang jangan, saya kasih kelonggaran.”

“Mas, udah... biarin aja. Jangan dikit-dikit dimasukin ke penjara. Ini kan resiko dari pekerjaan mereka.”

“No, Babe. That's not a risk, emang mereka aja yang kehabisan bahan. Yang tadi yang Fenia itu, ngga ada ngomong hal nyakitin ke kamu?”

“Nggak ada, Sayang. Udah ah, jangan marah-marah terus, nanti kerutannya nambah.”

“Babe, kamu tuh udah direndahin kayak gitu, kok masih bisa santai-santai aja kayak gini?”

Kadang saya bingung dengan Mentari dengan segala sabarnya yang tiada batas. Jelas-jelas pertanyaan yang dilontarkan begitu menyinggungnya, tapi Mentari justru tak mau menggubris. Saya sih juga seperti Mentari, hanya saja kalau orangnya bertindak di luar nalar, tentu akan saya perkarakan. Siapapun dia.

“Ya karena menurutku... Kamu sama Idan lebih penting. Mereka kan cuma pengen tau, yang tau kebenarannya cuma kita berdua. Jadi ngapain aku tanggepin?”

“Make sense, good job, Ma.”

Ia tersenyum. “Anyway, habis pulang ini kamu mau tidur di kamar?”

“Iya...Sayang, boleh. Tapi inget, Idan harus bobo bertiga sama aku dan kamu.”

“Iya, siaaap.”