Perdebatan Hebat

“Idan tunggu di situ sebentar ya, Mamah mau ngurus Papi dulu.”

“Iya, Mamah. Nanti kita bisa makan bubur kapan-kapan kok.”

“Oke, Sayang. Atau kamu ke kamar dulu, gih. Nanti Mamah pesenin aja.”

Dalam sekali bujukan, Aidan berhasil menuruti kata-kata Mentari. Dan Jordy yang menyaksikan hal itu memandang perempuannya dalam hening. Tak banyak kata yang terucap dari bibir tipisnya. Ia hanya menyimpan kagum rapat-rapat dalam hati.

Ekor matanya membuntuti Mentari ke manapun perempuan itu melangkah. Di dapur, di kamar, bahkan depan pintu kamar mandi pun, tak mampu membuat Jordy berpaling.

Padahal dia sadar kalau saat ini tubuh dan wajahnya sedang ngilu abis-abisan. Tak ada ampun dari ayah Kirana saat Jordy bersimpuh di depan pria tua itu

Sekali Jordy mengutarakan keinginannya untuk melepas diri dari bagian keluarga Kirana, amarah ayahanda mantan istrinya itu bertabuh buas.

Ia melampiaskan semua jumawa-nya pada Jordy, mengungkit kembali peristiwa naas yang menimpa Kirana, menuntut balas budi.

Jordy masih ingat betul kejadian persisnya.

“Dasar kamu bajingan!”

Bugh! Tendangan salah seorang bodyguard keluarga Kirana mengenai dadanya. Dapat ia pastikan bahwa sekujur dada hingga bahunya melemah dan lebam seketika.

Dan itu pula yang semalam membuat Mentari menahan diri untuk tidak histeris.

Tapi Jordy dalam keadaan setengah sadar, tahu—jika calon ibu sambung dari anaknya ini nyaris menjerit usai menemukan beberapa luka di tubuh kokohnya.

“Pelan-pelan,” ucap Mentari usai ia melepas sling-bagnya. Perhatiannya tersita pada Jordy yang mengusap wajah dan punggungnya.

“Abis ke toilet, perbannya aku ganti ya. Sarapannya udah dimakan belum?”

“Belum.” “Kenapa belum?”

Netra lelaki itu lalu beralih pada tangannya sendiri, mengisyaratkan jika saat ini dia sedang tak berdaya.

Namun respon Mentari sukses membuat Jordy tergguncang.

“Memar doang itu, masih bisa buat makan sendiri.”

“Kenapa?” tanya Mentari saat Jordy baru mau masuk toilet.

“Kamu heartless.” Jordy mengeluh.

“Yang penting udah aku siapin semuanya.”

“Kamu pikir saya nih cuma demam?” Nada Jordy sedikit naik.

“Kata kamu aku tukang ngatur, daripada aku ngomong ntar salah, mending diem aja.”

Entah mengapa jawaban acuh tak acuh itu sangat mengganggunya.

“Ya terserah kamu deh, yang penting saya diurusin juga.”

“Minta tolong Mbak Erna aja.”

“Kok Erna?” Dahi Jordy berkerut dalam.

“Kalo sama Mbak Erna kamu nggak bakalan ngata-ngatain dia.”

Mentari langsung berjalan menjauhi Jordy usai ia berkata demikian, meninggalkan perdebatan hebat dalam batin lelaki tiga puluh lima tahun itu.