Pertikaian Melelahkan
Bukan Jordy namanya kalau tidak sengit pada Mentari, apalagi kalau sudah menyangkut urusan pribadinya mengenai Kirana.
Datang-datang, ia menatap Mentari dingin.
“Saya tanya sama kamu,” ocehnya. Mentari diam saja, toh ia sadar apapun yang dia lakukan akan berujung salah di mata suaminya.
“Siapa yang suruh kamu pakai pakaian Kirana? Ke sekolah Aidan lagi! Mata kamu buta apa gimana? Gak baca WA saya.”
Mentari menahan air mata sebisanya. Hatinya langsung terluka saat Jordy bilang matanya buta. Meski ia tahu kalimat itu terlontar karena sedang emosi, tetapi bukankah itu makian kasar?
Apa nggak sekalian saja Jordy menamparnya karena lancang memakai pakaian mendiang. Jika saja dia sadar dengan apa yang ia lakukan sebelum pergi ke sekolah Aidan, toh dia tidak akan berpakaian seperti itu.
“Nggak ada. Aku juga nggak sadar kenapa make itu.” jawab Mentari jujur. Dan itu memang kejadian sebenarnya.
Senyum Jordy lantas menyeringai. “Nggak sadar? Dari mana nggak sadar? Jelas-jelas Erna lihat kamu masuk ke ruang wardrobe dan pilih sendiri pakaiannya! Mau ngelak apalagi?”
Amarah Jordy tampaknya makin tak keruan. Emosinya tak terbendung, begitupun Mentari yang sebenarnya saat itu sedang menggigil parah. Dia juga marah dan terlampau kecewa, tapi ia memilih diam dan tak mau berdebat seperti Jordy.
“Iya mungkin aku lagi kambuh, dan lupa minum obat.” Mentari menyahut lagi. Mendengarnya, Jordy mendengus pelan. Rasanya percuma juga dia membeli obat mahal, toh Mentari tidak pernah mengonsumsinya.
“Nggak taulah. Emang kamu cuma bisa ngerepotin saya.” Lelaki itu kemudian bangkit setelah meraup wajahnya kasar. Nada bicaranya tak lagi tinggi, tapi bantingan pintu saat dia keluar menjadi jawaban perasaannya.
Sepeninggal suaminya, Mentari terdiam beberapa saat, sebab kini kakinya mulai tak berwarna sementara tubuhya makin terasa dingin. Bibirnya pucat, demikian juga dengan matanya yang cekung.
Mentari sudah berusaha melawan dengan mengorek isi tasnya—mencari obat penurun panas, agar esok harinya dia lekas membaik.
—
Pukul dua malam, Jordy di kamar sebelah terlihat resah. Tak sedikitpun matanya bisa diajak kerja sama. Dia mengantuk, tetapi pikirannya terus tertuju pada wanita yang tidur di kamar tamu.
Ada rasa bersalah yang menjalar di hatinya. Pun keinginannya untuk meminta maaf.
Cuma yang membuat emosinya membuncah adalah Mentari yang selalu membela Aidan baik saat anaknya sedang melakukan kesalahan. Jordy tak ingin Aidan tumbuh menjadi anak yang manja, apalagi dia lelaki.
Lalu yang kedua, Jenan yang tak berhenti mencecarnya tentang Mentari. Bagaimana keadaannya; apakah dia baik-baik saja setelah mereka berdua menikah—Jordy rasa Jenan harus berhenti mengganggu Mentari. Dia bukannya cemburu, tapi setidaknya lelaki itu harus sadar diri jika kini Mentari sudah menjadi istri orang.
Lebih tepatnya istri sahabatnya sendiri.
Ah mungkin Jordy lupa satu hal. Jenan si buaya itu tidak mungkin terhalau hanya gara-gara Mentari sudah menikah. Karena Jenan bahkan bisa memesona perempuan yang sudah menjadi istri orang.
Mau bukti? Jenan pernah dekat dengan seorang kerabat mereka yang hampir cerai. Meski setelah cerai, Jenan dan perempuan itu berujung kandas, tapi siapapun pasti tahu bahwa Jenan bukanlah lelaki yang mudah dikalahkan.
Wajah tampan serta kulit putih mulusnya itu menjadi senjata utama.
Dan Jordy sangat getir karena ketampanan Jenan.