Pijar Istimewa

“MAMAH, Papi beneran ajak kita nonton?” Pijar ceria yang tampil di wajah Aidan seketika menghangatkan hatiku. Anak itu tiada henti menggenggamku sepanjang kami berdua berada di lift. Dia sibuk berceloteh tentang tokoh kartun favoritnya, Spiderman, yang akan kami tonton di bioskop nanti. Senyumnya tak berhenti merekah saat ia bercerita. “Idan seneng?” tanyaku membelai rambut hitamnya. Aidan menyambutku dengan anggukan kepala.

“Seneng, Mamah. Apalagi nontonnya bertiga. Ada Papi sama Mamah.” Ia tersenyum selebar mungkin. Aku mengangguk, menatapnya penuh haru. Akupun merasakan bahagia yang luar biasa, sama seperti Aidan. Anak ini memang jarang sekali keluar rumah. Hiburannya hanya games dan buku cerita. Maka jangan heran, sekali ayahnya mengabarkan bahwa ia akan menonton bioskop, Aidan melonjak kegirangan. Aku tahu Aidan sebenarnya tak butuh games-games yang ia mainkan, yang ia butuh hanyalah perhatian Jordy, papinya.

“Idan, nanti mau duduk di depan?” tanyaku pelan. Aku bertanya dengan sangat hati-hati. Sebab jika Aidan menolak, artinya akulah yang harus duduk di sebelah Jordy. Rasanya aku belum siap untuk duduk bersebelahan dengannya. Debaran jantungku mulai tak karuan, padahal belum ada sedetik aku dan Jordy saling bertatap muka.

“Nggak mau, ah. Idan nggak bisa baringan.” Aku melongo.

“Kenapa, Dan? Kan enak bisa liat mobil.”

“Idan mau bobo, Mah. Biar enggak tidur nanti pas nonton bioskop. Mamah aja duduk di depan, sebelah Papi,” katanya cuek. . . . . Biarpun ini bukan pertama kali aku duduk di bangku penumpang, namun tetap saja aku belum terbiasa. Setelah beberapa bulan menikah, akupun sama seperti Aidan. Jarang sekali pergi dengan Jordy. Aku lebih banyak di rumah mengurus Aidan. Bisa dibilang, hari ini adalah pertama kalinya aku akan menghabiskan waktu bersama lelaki itu dan putranya seperti keluarga lain.

Ketika kami sudah berada di mobil, Aidan langsung mengambil posisi di bangku belakang. Kulihat ia meluruskan kaki dan memejam mata, mengamini omongannya di lift tadi.

“Kok malah diem? Ayo masuk cepet,” titah Jordy sesaat aku memandanginya dari luar.

“Misi,” ucapku kikuk. Perlahan aku mendaratkan diri pada bangku di sebelahnya. Rasanya sulit sekali untuk memalingkan pandanganku dari Jordy. Sebab di detik aku duduk di sebelahnya, jantungku berdegup kencang. Aku bagai kehabisan kata untuk memuja wajah tampannya yang meremang di bawah cahaya. Pantas bila orang-orang menilaiku kurang cocok dengan Jordy, suamiku saja setampan ini.

“Mau makan apa?” tanyanya membuka obrolan.

“Ng... apa ya? Aku ngikut aja.”

“Idan, mau makan apa?” Jordy langsung beralih ke putranya karena aku tak dapat memberi jawaban pasti. “Dan?” Jordy menengok ke jok belakang.

“Dia tidur, Mas.” Aku memberitahu. “Jangan dibangunin. Idan tidur, tadi kata dia mau nyimpen tenaga biar kuat nonton film.”

“Aidan tuh suka banget nonton. Kalo diajak nonton kayak gini, dia bakalan lupa semuanya. Mau laper, mau belum makan. Dia akan fokus sama tontonannya nanti. Makanya, saya nanya kamu, mau makan apa. Tuh anak pasti nurut diajak makan dimana.”

Aku mengangguk sembari memerhatikannya bercerita padaku. Senyum di bibirku mengembang, menikmati momen pertama kalinya Jordy yang selalu irit bicara itu, begitu mengobrol panjang denganku.

“Mau makan apa, Mentari?” Ia kembali pada pertanyaan semula. Namun fokusku pecah saat aku menyadari sesuatu—tangan Jordy yang seharusnya menyentuh perseneling malah berada di atas punggung tanganku.

“Mas, kayaknya kamu salah megang deh,” kataku melirik tangannya. Netranyapun turun, mengikuti ucapanku.

“Sering make lotionnya ya?” Ia mengalihkan pembicaraan.

“Gimana?” balasku heran. Jordy malah membahas hal-hal random diluar nalar.

“Tangan kamu udah nggak kasar lagi,” ujarnya, tersenyum.

“Eh? Masa? Ya belakangan emang lagi rutin sih, abis kemaren sempet kering karena kebanyakan cuci piring.”

“Lagian kamu, kenapa sibuk sendiri nyuci piring segala? Si Erna gabut dong kalo semua kamu yang ngerjain.”

“Nggak juga kok. Mbak Erna bagi tugas sama aku. Dia nyapu ngepel—”

“Kamu yang nyuci piring, nyetrika, masukin baju, lap meja, dan segala macemnya?” tanyanya memotong ucapanku.

Sebentar. Ini aneh, karena aku tak pernah menceritakan apapun padanya. Dari mana dia tahu jika aku melakukan semua itu? Dia saja jarang di rumah.

“Mas, aku—”

“Kamu bukan pembantu, Mentari. Yang saya bayar buat bersih-bersih rumah itu Erna. Ngapain sih kamu ngerjain gituan?”

Aku tertegun saat Jordy menegurku perihal yang satu ini. Aku memang sengaja melakukan pekerjaan rumah supaya pikiranku tenang, tak lagi mengingat sakit hati yang membekas karena tahu Jordy tidak mencintaiku. Aku melirik rahangnya yang mulai mengeras, menahan kesal. “Jangan bikin Erna keenakan. Nyonya di rumah itu kamu, kok malah jadi dia yang gabut.”

Nyonya katanya? Aku tersenyum kecil. Sebut saja aku gila, tapi ucapan Jordy barusan sukses meletupkan rasa hangat dalam diriku. Aku tercekat kala Jordy menoleh padaku sambil sedikit mendekatkan wajahnya.

“Denger nggak?” Jordy kembali memegang tanganku.

“Denger. Aku gak boleh ngerjain kerjaan rumah,” ujarku mengulangi titahnya dan membuatnya tersenyum puas, kemudian Jordy menurunkan tatapannya ke tanganku dengan alis bertaut, “ngapain sih tangan kamu tuh?”

“Nyetir. Jangan gak fokus,” aku menatap jalan raya dan mengembalikan tangannya ke atas perseneling.

Tapi entah apa yang sedang menggandrungi Jordy malam itu, ia kembali menarik tanganku dan justru melakukan hal yang lebih tak masuk akal bagiku—menggenggam tanganku erat.

“Its our family time. Today.” “Terus?”

“Liat tuh di depan, lampunya merah.” Aku tak paham dengan maksud pembicaraan Jordy.

“Ya terus kenapa, Mas Jordy?”

“Mirip sama pipi kamu. Blush on-nya over.” Ia mengayunkan tangannya kemudian mengusap pipiku perlahan.

“Mas... kamu kenapa sumpah...” kataku terbata-bata. Ia hanya tersenyum, tapi tangannya mulai nengelus pelan tanganku bahkan sampai dipindahkan ke atas pahanya. Satu per satu jari kami menyatu.

“Sebentar aja. Saya lagi capek banget ini.”

Aku mengangguk, membiarkan pijar istimewaku ini beristirahat sejenak.