Bertahan Luka
Pikiranku buyar tatkala Jenan nekat melakukan satu tindakan diluar nalar. Aku tersentak, segala sedihku semakin menyeruak. Aku tahu, aku datang ke acara itu hanya untuk tersakiti. Namun Jenan tambah membuatku nelangsa.
Semestinya aku menepis tangan Jenan barusan, namun entah mengapa kala itu kekuatanku telah terserap oleh perih yang menghujam hati, pikiranku pun mendadak buntu saat Jordy nyaris menitihkan air mata hanya dengan menyebut nama mendiang istrinya.
Sebut aku egois, tapi aku tak begitu pandai menutupi perasaan. Aku cemburu, dan aku tak ingin menyangkalnya. Namun aku menahan diri hingga acara selesai. Tanpa pamit pada Jenan, aku melangkah keluar mengikuti Jordy dari belakang.
Di luar, wanita paruh baya yang beberapa waktu lalu pernah menampar keras pipi Jordy ternyata telah menunggu kemunculan suamiku. Entah karena sebuah keharusan atau apa, Jordy menghampiri ibu dari Kirana, meninggalkanku berdiri sendirian.
Dari jauh kulihat Recha memeluk Jordy erat. Sungguh, kupikir dia akan bersikap sama seperti waktu itu, walau aku tak tahu pasti apa yang mereka bicarakan. Binar wajah Recha terlihat hangat dan diliputi kebahagiaan, sangat berbeda dari yang kulihat dulu saat kami pertama kali berjumpa.
Recha menepuk kedua pipi Jordy, sedang suaminya—memeluk Jordy juga seakan mengucap terima kasih atas karya yang telah ia buat untuk mendiang putrinya.
“Selamat ya Jordy, makasih karena sudah membuat karya yang hebat, dan masih mencintai putri saya...”
Wajah Jordy kala mantan ayah mertuanya berkata demikian pun terlihat sangat terpukul tapi juga hangat, mungkin dalam kepala, suamiku ingin Kirana yang hadir, bukan aku si sosok figuran dalam hidupnya.
Raut itu, raut yang tak pernah ia tunjukkan padaku sepanjang kami menikah.
Dua puluh empat per tujuh, Jordy hanya memperlihatkan muka lempeng tak berekspresi miliknya, kecuali kemarin saat emosiku luluh lantah. Ia frustasi dan kalang kabut, tapi kenyataannya ia menyesal hanya sementara.
Peluk ayah Kirana pada Jordy, membuatku semakin tersadar bahwa yang selama ini Jordy inginkan hanyalah Kirana. Bukan aku.
Aku reflek melangkah mundur semakin menjauhi Jordy, bahkan kalau bisa aku lenyap dari pandangannya.
Pikirku saat itu, ini adalah kesempatan yang bagus untukku pergi darinya. Tapi satu pesan berhasil menggagalkan pikiranku yang terbengkalai itu.
Idan🐻❤️:
Mamah, udah dimanaa? Idan mau sama Mamah :( Mamah masih lama enggak? Idan tadi akhirnya pergi beli mekdi sendiri ditemenin Mba Erna sama Pak Devon, sekarang Idan udah di rumah lg makan burger. Mamah Idan beliin french fries, Papi Idan gak beliin soalnya Idan masih sebel 😠
Tangan dan tubuhku bahkan gemetar hanya untuk membalas pesan Aidan, aku bahkan tak punya kekuatan untuk menjawab pesannya. Sebab sakit hati, putus asa, kecewa dan nelangsa telah menguasai benakku malam itu. Aku tak dapat menjelaskan lebih jauh lagi seberapa hancurnya aku di hari bahagia Jordy malam itu.
Aku mengabaikan pesan Aidan sebagai langkah terbaik yang kupilih untuk menenangkan diri.
—