Pusing Terus Kalau Ada Jordy
“Dari hasil pemeriksaan yang kita lakuin secara berkala, enggak ada apa-apa sih sama kamu. Kondisi kamu stabil, secara emosional.”
Aku langsung bernafas lega ketika Mas Terry membacakan hasil pemeriksaan yang baru saja ia lakukan padaku. Sebuah wawancara singkat yang memakan waktu sekitar sepuluh menit untuk mengetahui seberapa seimbangnya emosiku sehari-hari. Dan...voila! Hasilnya normal, nggak seperti yang Jordy asumsikan selama ini.
Mas Terry di depanku terlihat sibuk dengan guratan wajah serius, mencatat semua yang ia terima dari hasil pemeriksaan tersebut. Setelah lima detik, Mas Terry kembali mengedarkan tatapannya padaku.
“Tapi ini baru pemeriksaan awal. Kemaren-kemaren saya cuma cek kondisi kamu setelah menjalani dua kali sesi terapi sama saya, Mentari.” Terry melanjutkan omongannya yang tentu akan menjadi satu poin kemenangan bagi Jordy.
“Jadi saya gila apa enggak sih, Mas Terry?”
“Enggak, Mentari. Saya gak ada mengdiagnosa kamu kaya gitu, cuma memang saya perlu beberapa kali untuk tahu penyebabnya. Apalagi kamu bilang... kamu sering sakit kepala, saya mau rujuk kamu ke dokter spesialis syaraf. Dan, untuk yang kamu bilang soal sering gak sadar ngelakuin apa yang bukan kehendak kamu, bikin saya bertanya-tanya, apakah ada sesuatu yang trigger kamu saat masih kecil.”
Aku mengangguk paham. Tapi perasaan saat kecil, aku bahagia-bahagia aja, tuh, meski semenjak kedatangan si ular, semuanya berubah.
Ayah menjadi lebih fokus terhadap anak sambungnya yang sekarang otomatis menjadi adik tiriku, juga keperluan si ular, yang sering meminta uang jatah untuk dia belanja, memenuhi kehedonannya.
Selebihnya, tidak ada yang menyakitiku kecuali Reno, mantan kekasihku yang...ah sudahlah, mengingat namanya saja, luka dalam hatiku langsung ternganga lebar.
Mas Terry menatapku dengan raut wajah serius, “akhir-akhir ini frekuensi sakit kepalamu itu sering?” Disiapkannya kertas dan bolpoin untuk mencatat gejala-gejalaku.
“Nggak sering, Mas...” Aku memelankan suara, sebab berbarengan dengan aku menjawab pertanyaan Mas Terry, suara pintu terbuka, terdengar di belakang. Siapa lagi yang datang kalau bukan si Otoriter Jordy.
“Berapa kali dalam seminggu?” tanyanya lebih rinci.
“Hmm...Mungkin tiga kali dalam seminggu–” “Bahaya, dong!” Mas Terry tiba-tiba menukas dengan suara yang cukup keras, hingga Jordy sontak melongokkan kepalanya dari balik tirai.
Jordy mengedarkan tatapannya langsung kepadaku dengan muka kaget, “Sakit kepala?”
“Lo sih, Jor. Anak orang saban hari disuruh muter keliling pake motor!” Mas Terry mengajukan protes, aku terbahak mendengarnya. Kadang-kadang jika aku tak bisa mengungkapkan isi kepalaku tentang Jordy, akan ada orang lain yang membantu menyampaikannya. Salah satunya, ya Mas Terry.
Kulirik Jordy memasang muka malas, “Emang job desc dia gitu, Ter.” Lalu setelah berkata demikian Jordy menarik kursi dan duduk di sebelahku. Wah, kalau gini...gimana caranya aku cerita ke Mas Terry kalau kepalaku sering sakit kalau Jordy berada di sekitarku...Persis saat ini. Kepalaku bermain lagi.
“Kenapa, Mentari?” Mas Terry bertanya panik. “Keluar lo, Jor. Mau gue cek dulu,” usirnya pada Jordy.
“Lah, gimana? Kata lo gue pendampingnya Mentari, masa nggak boleh gue tau kondisi dia?” sahut Jordy gak mau kalah.
“Bukan gitu, Jor. Masalahnya gue harus hypno dia dulu, lo mau gue hypno sekalian?” Diusir halus oleh Mas Terry, om-om sinting itu bungkam seketika. Langkahnya pelan, meninggalkan ruangan Mas Terry.
“Dah, Mentari. Jadi sekarang, kamu bisa bebas cerita apa aja sama saya,” kata Mas Terry usai memastikan Jordy benar-benar pergi. Akupun merasa sedikit rileks dan perlahan, pusing yang menggandrungi kepalaku mulai hilang.
“Hmm...belakangan kalau ada Pak Jordy, kepala saya selalu pusing, Mas,” ujarku. Mas Terry menaikkan sebelah alisnya, heran.
“Kalo ada Jordy gimana maksudnya?”
“Ya kalau ada Pak Jordy, kepala saya kayak sakit banget, tapi kalo dia nggak di ruangan, kepala saya baik-baik aja.”
Mas Terry tertawa renyah. Entah apa maksudnya, namun dari senyum miring yang ia perlihatkan padaku, sepertinya agak nggak percaya dengan ucapanku barusan. “Kamu suka ya sama Jordy?”
Ini lagi! Gimana ceritanya aku naksir sama orang mengerikan macam Jordy? Sikap ngatur-ngatur dan otoriternya saja membuatku geram, apalagi suka! Hih, mending balikan sama Renjana.
“Ya enggaklah!” tukasku penuh keyakinan. Mas Terry merapihkan posisi duduknya. “Oke, soalnya case kamu ini agak gimana ya, Mentari... Membingungkan. Pertama, kamu bilang kalau Kirana sering datang ke mimpi kamu..Kedua, kamu mengaku kalau kamu pernah melihat badan kamu diranjang tapi kamunya melayang. Sebenernya hal-hal kayak gitu lebih cenderung ke ilmu metafisika, ya. Tapi saya rasa ada sebagian impulsif kamu yang menguasai diri kamu disini.”
Sambil terus berbicara, kulihat Mas Terry berjalan mematikan lampu ruangan dan seketika aku hanyut dalam sebuah benda yang ia pegang...kemudian aku tak ingat apa-apa lagi.