Questionable Question

Pagi itu, pemilik tubuh tinggi menjulang ini keluar dari kamar dengan tergesa-gesa mengingat akan jadwalnya yang begitu padat meski di pertengahan minggu, ia segera keluar kamar dengan pakaiannya yang sudah rapih.

Sebelum lelaki itu meninggalkan kamar, ia sempat berhenti sejenak, tersadar ada aroma yang berbeda dari pakaian yang ia kenakan. Wewangian bunga, bukan rempah, meski demikian ia tetap suka dengan aromanya.

Wangi ini jelas bukan parfum Kirana, melainkan perempuan yang sedang memasak nasi goreng di dapur. Jordy asal mencomot parfum siapapun yang tersimpan dalam lemari karena terburu-buru.

Begitu kakinya ia langkahkan ke dapur, Aidan rupanya telah sampai lebih dulu. Ia memang bangun lebih pagi sejak Mentari menyiapkan segala keperluannya. Anaknya itu duduk manis di ruang makan, sambil terus melirik ibu sambungnya yang sibuk memasak makanan kesukaannya.

“Nasi goreng ya, Mah? Asyikkk!” Aidan menggoyangkan kakinya kegirangan. Netranya terus bergerak mengikuti kemanapun Mentari melangkah.

“Iya, Dan. Makan dulu sebelum berangkat.” Tanpa perlawanan, Aidan langsung menyantap sajian sederhana yang Mentari masakkan untuknya.

“Pi, makan.” Aidan memanggilnya untuk makan pertama kalinya. Jordy diam, namun air mukanya berubah kagum pada sosok perempuan yang kini tengah meletakkan beberapa sendok nasi ke piring di depan Jordy.

Perubahan Aidan yang drastis memang tak lepas dari peran Mentari. Semenjak pemilik rambut ikal itu mendampingi anaknya, Aidan yang dulu selalu rewel dan bawel, perlahan berubah menjadi sosok yang penurut, walau tak selalu ia mengikuti ucapan ayahnya, tapi setidaknya Aidan perlahan mulai berubah.

“Piiiii ayo makaaaaaan!” seru Aidan pada Jordy yang tertangkap basah melirik Mentari terus menerus.

“Mamaaaaah, ayooo makaaan. Masaknya udahaaan!” Aidan merengek seperti biasa.

“Sabar, Dan. Ini sisa naroin sosis buat Papi. Idan mau? Atau telur ceplok aja?” tanya Mentari seraya memindahkan lima buah sosis di piring yang berbeda.

“Enggak, Idan makan nasi goreng buatan Mamah aja kenyang.”

“Enak ya?” kekeh Mentari. Putranya mengangguk kuat. Penasaran, Jordypun ikut mencicip masakan Mentari yang membuatnya tersedak seketika.

“Mas, pelan-pelan makannya. Minum, minum.” Mentari menuangkan segelas air untuk Jordy. Lelaki itu terkesiap saat pertama kali makan nasi goreng ini, sebab rasanya sangat mirip dengan masakan Kirana. Tak terlalu asin, tapi gurih dan tidak pedas. Jordy bahkan tidak pernah memberitahu seperti apa nasi goreng kesukaanya, tetapi secara mengejutkan, Mentari dapat mengetahui seleranya.

Saat Mentari menatap Jordy yang sibuk tercenung, lelaki itu baru tersadar jika Mentari sedang memandangnya lekat-lekat. “Nggak enak ya? Kamu sampe keselek gitu,” keluhnya sedih.

“Enggak, Mentari. Enak kok,” sahut Jordy spontan lalu mengalihkan canggungnya pada sang putra, “Dan, udahan belum makannya? Jangan sampe telat ke sekolah.”

“Udah, Pi. Papi enggak mau makan?” tanya Aidan heran. Lelaki itu melirik Mentari sekilas, kemudian pada anaknya. “Papi ada meeting, Dan. Ayo.”

Aidan merengut. “Papi mah! Ngeburu-buruin Idan mulu. Orang baru jam setengah tujuh!”

“Nggak apa-apa, Dan.” Mentari menggeser piring berisikan sosisnya. “Sana gih, nanti Idan terlambat,” katanya kemudian. Ia meninggalkan dapur, lalu menghampiri Aidan—memastikan jika seragam Aidan sudah lengkap dan tak ada yang tertinggal. “Udah lengkap semua. Buku catetan udah, kotak pensil udah, botol minum udah—”

“Ada satu yang belum, Mah!” sela Aidan penuh semangat.

“Apa?” tanya Mentari bingung, begitu juga dengan Jordy yang sedari tadi hanya menyaksikan keduanya. Aidan tersenyum tipis seraya berlari kecil menuju Mentari. Anak itu berhenti tepat di depan Mentari dan meraih tangan ibu sambungnya untuk ia salami sebelum berangkat.

“Assalamualaikum, Mamahku.”

Untuk yang kesekian kalinya, Jordy dibuat terpaku oleh Mentari. Seperti yang orang-orang tahu, Aidan memang terkenal sangat keras sama seperti Jordy. Tak jarang anak itu berperilaku tidak sopan pada yang lebih tua, tapi apa yang Jordy baru saksikan tadi membuat lelaki itu tak dapat mengartikan perasaan menggebu yang menyelimuti benaknya. Tanpa sadar kini Jordy terpaku memandang Mentari yang sibuk mengurus Aidan.

“Wa'alaikumsalam, Dan. Hati-hati ya. Minum air putih yang banyak, jangan isengin anak orang. Yang pinter di sekolah. Okay?” sahut Mentari mengacak rambut Aidan.

“Iyaaaaaa, Mamah.” Aidan menepis tangan Mentari yang sibuk mengusak rambutnya, lalu segera berpaling ke sisi Jordy, menyelipkan tangannya dibalik genggaman sang ayah. “Ya udah, kita jalan dulu.”

“Iya, bye, Dan!” Mentari melambaikan tangan pada Aidan.

“Mamah,” panggil Aidan. Jordy di sebelahnya hanya bisa terdiam saat anak itu melepas genggamannya.

“Kata ibu guru, nggak cuma ibu-ibu doang yang harus dihormatin...” Anak itu melirik Jordy yang mematung di sebelahnya.

“Kata ibu guru...bapak-bapak juga harus dihormatin, Mah!” cetusnya. “Jadi...Papi kan bapak-bapak, Mamah kan ibu-ibu...” Perempuan itu kontan melepas tawa.

“Dan kita nggak ada waktu, ayo cepet masuk mobil–”

“Assalamualaikum, Mas Jordy.” Jordy membeku saat tangannya diraih oleh Mentari. Perempuan itu menempelkan tangan Jordy pada dahinya.

“W-wa'alaikumsalam.” Jordy menarik tangannya cepat. Ia segera membalik badannya, sebab detik itu Jordy sadar, ada sebuah perasaan yang tak seharusnya muncul dalam diri Jordy. —

“Pi,” panggil Aidan.

“Kenapa, Dan?”

“Papi kenapa sih dari tadi ngeliatin Mamah kayak gitu?”

“Kayak gitu gimana?”

“Kayak cinta banget gitu.”

“Kamu tuh, kayak ngerti aja cinta-cintaan. Denger gak tadi Mamah ngomong apa sama kamu?”

Aidan mengangguk. “Iya, disuruh belajar, gak boleh isengin temen.”

“Nah iya, ya udah itu aja yang Idan lakuin,” ucap Jordy, Aidan mengangguk patuh. “Kalo Mamah yang minta, Idan pasti lakuin.”

“kok sama Papi enggak?” protesnya.

“Soalnya...Papi galak. Terus kata ibu guru, surga di telapak kaki ibu, Pi. Bukan di telapak kaki ayah,” jawab Aidan penuh logika. Lantas lelaki itu menguar tawa, “Iya, iya. Mamah bukannya sering negur kamu?”

“Iya, tapi sebentar doang. Mamah jarang marah. Dia malah sedih kalo Idan marahan sama Papi.”

Jawaban itu cukup memberi tamparan keras bagi Jordy. Ia bagai diejek oleh orang yang belum pernah menjadi orang tua seperti Mentari. Tak sedikitpun terpikir olehnya jika Mentari akan mengatakan hal setulus itu pada Idan.

“Dan.”

“Ya Pi?”

“Idan sayang banget sama Mamah?”

Anggukan kepala Aidan menceloskan hati Jordy.

“Emang, Papi enggak sayang mamah ya?”

Ditanyai putranya sendiri, Jordy seperti dilucuti habis-habisan, seakan kini semesta berpihak pada perempuan yang sempat membuatnya tak kuasa menahan marah pada sahabatnya sendiri.