“Ri.”

Lenguhan Jordy sontak membangunkanku dari tidur. Malam itu, Aidan menginap di rumah sepupu Jordy yang namanya Jordan, seorang tattoo artist ternama di Bali.

Dua hari kami berada di sini, Jordy sempat mengunjungi tempat usaha Jordan di Canggu, sedang aku dan Aidan menghabiskan waktu di villa milik Jordy. Sepulangnya dari sana, Jordan datang dan mengajak Aidan menginap di rumahnya, bermain bersama anak lelaki mereka yang seusia dengan Aidan—Putra.

Dan sekarang, tersisalah aku dan Jordy di villa. Lelaki itu tahu-tahu berpindah ke kamarku semalam, padahal aku sudah menolaknya karena status kami masih belum resmi seperti dulu. Namun Jordy dengan gigihnya memboyong bantalnya dan tidur di sebelahku.

“Hai,” ia membuka matanya yang setengah terpejam. Tangannya terangkat kemudian memindahkan kepalaku ke atas lengan atletisnya.

“Bener-bener udah dibilangin, tidur di kamar depan aja!” tukasku sebal.

“Tega banget,” gerutunya. “Udah beberapa minggu saya tidur sendiri di Jakarta, cuma meluk guling, meluk Idan, gak meluk kamu.”

“Cih,” decihku. “Emang dulu kamu mau meluk aku?” tambahku dengan mata menyipit. Jordy tertawa pelan, suara seraknya khas orang bangun tidur membuatku harus pandai mengelola deburan jantungku yang tak beraturan.

“Mau,” jawabnya spontan kemudian menyelipkan rambut ikalku ke belakang telinga.

”...Waktu kamu kesurupan itu saya meluk terus,” kenangnya. “Saya nggak tau lagi waktu itu harus ngapain, saya takut kamu ninggalin saya,” katanya dengan pandangan meredup.

”...Maaf, Ri,” ujarnya penuh penyesalan. “You can curse me as much as you want. Go for it,” katanya lagi dengan menjulurkan lengannya padaku dan memejam mata—menanti aku akan melakukan kekerasan fisik kecil padanya.

“You said you hate me, then proof if you say so.”

“Mas, aku makin sebel sama kamu kalo ngomong bahasa Inggris, udah tau ijazah aku gak sampe kuliah,” keluhku sembari melayangkan cubitan di pinggulnya. Dia terbahak, “Iya lupaaa. Sori, sori. Ampun, Ri. Ampuuun!” tepisnya pada tanganku.

Setelahnya, baik aku dan Jordy sama-sama hening. Kami hanya saling berpandangan satu sama lain dengan mengikat tubuh kami di bawah selimut. Aku kehabisan kata-kata, karena yang ada dalam pikiranku saat itu hanyalah ragu. Aku meragukan Jordy walau ia gigih untuk mengajakku kembali.

Masalah yang kami lalui bukan hanya sekedar ketidakcocokan, melainkan jauh lebih rumit dibandingkan itu. Aku takut dia tak dapat menerima sisi sensitifku.

“Kamu jahat,” makiku pelan. Emosi yang semestinya kusimpan sendiri, perlahan mulai memenuhi benakku. Tangisku pun pecah seketika, terisak pilu.

Aku memukul dadanya pelan, “kamu nyebelin.”

Jordy diam dan hanya membiarkanku melampiaskan perasaanku padanya. “Kamu tega banget ngancurin aku, kamu egois. Kamu nggak sayang sama aku, kamu ngecewain aku, kamu laki-laki paling egois yang pernah aku temuin, kamu—” nafasku tercekat seiring Jordy membelai lembut wajahku. Ia mendekat dan kembali memberikan peluk hangat terbaiknya. “Gak mau nampar sekalian?” bisiknya sambil memindahkan tanganku ke atas pipinya.

”...Jangan, nanti kamu kesakitan,” lirihku pelan seraya mengelus pipinya. “Sakit nggak dadanya tadi aku pukulin? Maaf...”

“Gak papa, I deserve that. Idan juga marah sama saya waktu kamu pergi dari rumah, seminggu full dia nggak ajak saya bicara. Saya bingung dan nggak tau harus ngapain,” tuturnya pelan. “...Dia balik jadi nakal lagi, Ri. Nggak mau dengerin saya, marahin Erna, apapun yang dimasakin Erna, dia nggak mau sentuh. Dia cuma mau makan kalo ada kamu di rumah.”

Jordy nampak frustasi dan putus asa saat ia menjelaskannya padaku. Air mukanya yang lelah seakan memohon padaku untuk kembali padanya.

“Nggak apa-apa kalau kamu belum bisa maafin saya. Saya juga sadar kalau saya sering nyakitin kamu, tapi tolong...” Lelaki itu menghentikan ucapannya.

“Ikut pulang ke Jakarta ya?” Binarnya terlihat sungguh-sungguh. “Nggak usah demi saya, tapi buat Aidan. Sampe kapanpun, kamu tetep mamahnya Aidan.”

Aku membisu, ingin menolak ajakannya untuk pulang ke tempat yang membuatku nelangsa itu, namun saat kulihat baju rumahku terdampar di tepi ranjang, aku mulai goyah.

Papi selalu tidur sambil meluk baju Mamah.

Ucapan Aidan mulai meruntuhkan segala ego yang kutanam. Sembari membiarkan Jordy mendekapku erat, aku mencoba menyusun kalimat untuk menjawab ajakannya.

“Aku butuh waktu, Mas Jordy.”

“I know.”

“Gimana kalau kita gagal lagi?” tanyaku takut-takut. Dia membalas tatapanku dengan air mukanya yang nampak pedih dan putus asa, “saya juga takut gagal. Tapi seperti yang udah saya bilang, saya nggak bisa kehilangan kamu.”

”...Saya cuma mau kamu, Ri.”