Sang Pemberi Kebahagiaan Anya
“Melipir aja dulu. Nggak apa-apa kok, Nya.” Shaka menghentikan mobilnya di tepi jalan. Hari ini, tidak seperti biasa, Anya duduk di belakang—mendampingi Nora. Di tangan perempuan itu, tampak sekotak kecil sup ayam dan daging yang telah ia persiapkan untuk bekal Nora.
“Makan dulu ya, Cantik. Nanti habis ini kita liat giraffe, elephant, lion, and crocodile,” bujuk Shaka dari bangku kemudi. Sebelum Anya berhasil menyuapkan satu sendok kecil ke mulut Nora, anak itu ternyata sedang rewel. Berkali-kali Nora mendorong tangan mamanya, menolak makan.
“Eh, kok enggak mau mamam?” tanya Shaka. Laki-laki itu lantas turun dari mobil, lalu berpindah ke jok belakang. Shaka memang sengaja meletakkan satu mainan yang pernah Nora bawa, waktu pertama kali mereka bertemu. Ia membelikan yang sama persis dengan mainan kesayangan anak itu, supaya fokus Nora teralihkan.
“What is this?” Shaka menyodorkan mainan mobil-mobilan ke “Car! Shooo! Shooo!” Berhasil membuat Nora tertarik pada mainan tersebut, Anya pun langsung mencari celah menyuapkan sesendok makanan ke mulut Nora, dan hap! Nora langsung memakannya dengan lahap.
usai beberapa suapan, Anya di samping Nora, terpaku pada Shaka yang sedang mengajak putrinya mengobrol. Tidak sedikitpun Shaka merasa terganggu dengan pertanyaan konyol yang ditanyakan Nora padanya. Justru, Shaka malah semangat memberi jawaban. Lutut perempuan itu sungguh dibuat lemah oleh cara Shaka yang mampu mengasuh Nora. Padahal Anya tahu tidak mudah untuk seorang seperti Shaka yang belum berpengalaman menjadi orang tua.
Ia ingat betul, situasi ini ketika ia dan Tara masih bersama-sama. Saat Nora menolak makan, Tara justru meletakkan makanannya di atas meja anak itu dan berkata tegas, “Eleanor kalo nggak mau makan, nggak usah makan, ya. Dadda nggak suka nih kalau kamu ribet makannya.”
Mendengar ucapan Tara kala itu, hati Anya sungguh tersayat. Bagaimana bisa Tara meninggalkan anaknya yang menangis kencang? Ia justru ngedumel pada Anya, berkeluh karena Nora menolak makan mpasi yang Anya bikinkan.
“Kamu aja deh tuh, Nya yang suapin. Capek banget aku, makanan semua sama dia dilepehin,” dengus Tara, lalu ia berjalan ke dapur dan meninggalkan Nora yang mengangkat tangannya meminta gendong.
Sungguh berbeda dengan Shaka yang sangat-sangat sabar menghadapi Nora seperti ini. Sambil terus mengajak anak kecil itu bermain, dan tanpa youtube, hebatnya Nora mau membuka mulutnya lebar-lebar, meminta Anya untuk memasukkan makanan ke mulutnya.
“Pinter banget anak Papa, eat a lot ya, Nora. So you can beat the lion!” seru Shaka sambil menirukan auman suara singa.
Nora tampak senang dan tertawa terbahak-bahak. “Papa, lion!!!”
“AUM!!!” Shaka menekuk jari-jarinya seperti cakaran singa, dan kembali menirukan suara auman hewan buas itu.
“Hahahahaha, again, again!” Nora menyahut penuh antusias sampai terbatuk-batuk saking girangnya.
“Oops! Sorry, Nora.” Shaka sigap menepuk-nepuk punggung Nora dan mengusapnya beberapa kali. “Minta minumnya, Nya.”
Anya di samping Shaka tertangkap basah cengo dengan tampangnya yang lagi-lagi sedang terpasang haru. “Yang, tolong minumnya Nora,” ulang Shaka. Gadis kecil yang masih duduk di carseatnya itupun ikut menirukan ucapan Shaka, “Yang, minumnya Nola.”
Shaka dan Anya sontak saling bertatapan heran dan menderai tawa, gemas sendiri dengan tingkah Nora yang menunjuk-nunjuk mulutnya yang terbuka.
“Oh, iya, iya..” Anya lantas membuka botol berbentuk kelinci untuk ia berikan pada putri kecilnya.
Karena di kotak makan Nora makanannya sudah habis, Shaka pun bergegas pindah ke depan. “Good job, anak papa. Are you ready to see the lion????”
“Yeeeeeeeesssss! I want to feed the elephant, rabbits and birds!”
“Okay, Sayang. Let's gooo!” sahut Shaka yang kini siap menyalankan mesin mobil. Anya dari bangku penumpang, mengelus pelan tengkuk leher Shaka sebagai ucapan terima kasihnya.
“And good job too for Papa..” kata Anya seraya melirik pada Shaka. Yang menerima elusan, mengayunkan tangannya kemudian mengusap tangan Anya.
“Thanks, Sayang,” balas Shaka sambil tersenyum lebar, dan mengelus rambut hitam pekat Anya.
Sepanjang melanjutkan perjalanan, Anya tiada henti menggenggam tangan Shaka. Jika biasanya Shaka-lah yang lebih dulu mempererat pegangannya pada Anya, kali ini Anya yang mulai duluan. Raut wajah Anya mulai memancarkan kebahagiaan yang dulu hampir tidak pernah terlihat di mukanya.
El Shaka, sang pemberi kebahagiaan pasti untuk Anya seorang.
—