Saya cemburu

Hari itu saya terbangun karena sakit kepala yang hebat. Kepala ini bagai dihantam oleh sebilah palu besi, meninggalkan rasa sakit yang begitu mencekam baik fisik maupun mental. Tubuh saya dibuat tak mampu bergerak, mata ini seakan direkatkan oleh lem kuat sehingga saya dibuat tak berdaya di ranjang. Entah siapa tersangkanya, tapi jelas saya tidak nyaman berada dalam posisi ini.

Bahkan untuk memanggil saja, mulut saya benar-benar dikunci rapat, dan hal yang bisa saya lakukan hanya mendengar suara bising dari arah ruang makan, jejakan-jejakan kaki yang mendekat ke arah saya, juga sebuah sentuhan di telapak tangan.

Hangat, tapi saya tahu bahwa kehangatan ini bukan milik Kirana, melainkan perempuan yang saya jadikan tempat pelindung untuk Aidan.

Bukan saya tentunya.

Saya juga mendengar ringisan kecil darinya ketika suara pecahan gelas kaca menderu hebat di sekitar saya.

Tapi hal itu tidak menggoyahkan saya untuk melihatnya barang sebentar.

Detik berikutnya, gemercik air mulai terdengar dari arah dapur, begitu juga dengan air panas yang mengepul dari mesin pemanas. Semuanya berlomba seakan meminta saya untuk membuka mata.

Saya tetap berteguh dalam pendirian, membiarkan dia mengerjakan semua sendiri, walau dalam hati timbul sedikit kekhawatiran karena dia sempat meringis kesakitan.

“Halo?” Suaranya terdengar. “Oh, Pak Jenan.”

Mata saya terbuka usai mendengar nama Jenan terlontar dari bibirnya. “Ah, iya, Pak. Saya baik-baik aja,” katanya lagi. Dia menjauh dari jangkauan saya, seolah berkata bahwa dia dan Jenan memang punya waktu berdua.

Saya kontan berdiri di tengah rasa kesal yang menggebu. Untung dia tidak sadar bahwa saya sudah bangun. Dia seketika menghilang dari pandangan, dan membuat rasa kalut itu semakin bertambah menguasai benak saya.

Bibir saya sudah penuh dengan sumpah serapah, padahal seharusnya saya tidak usah memedulikan apa yang Jenan katakan pada dia. Namun senyum yang sering merekah ketika Jenan berada di sisinya membangkitkan murka. Ditambah, dia—si teledor— meninggalkan ponselnya yang satu lagi di kamar.

Tanpa peduli apapun lagi, saya putuskan untuk menyusul, mencari validasi dari firasat saya beberapa bulan ini.

Ia saya temukan berada di balik pintu besar, menelepon seseorang. Katanya itu Bulik Ratih, tapi murka yang masih betah menyelimuti membuat saya tidak segampang itu jatuh pada ucapannya.

“Hape kamu ketinggalan. Notifikasinya rame, dari Jenan. Berisik. Istirahat saya terganggu,” entah apa yang merasuki saya hingga dengan entengnya saya berkata demikian.

“Pak Jenan bilang apa—”

“Dia tau nomor hape kamu dua-duanya?” Nada saya sedikit ketus.

Ia mengangguk. “Satunya kan buat kerja.”

“Satu lagi?” Cecar saya tidak puas.

Ia diam.

“Jawab, Mentari. Satu lagi buat apa?!” Semua orang yang berada di sekeliling kami sontak meliriknya, juga saya. Tapi mereka lebih memerhatikan dia dengan pandangan sinis.

“Buat kerjaan. Itu kan hapeku yang rusak kemaren, WA-nya baru dibenerin, Mas.”

Saya mendengus marah, “buat kerjaan atau buat bilang ke kamu I would protect you at all cost?”

“Enggak gitu, Mas.” Ia masih berkilah, namun saya tak peduli. “Saya udah bilang sama Jenan untuk cari perempuan lain, jangan kamu yang dia usik terus.”

Saya berkata dalam perasaan kalut bercampur marah. Semestinya saya tidak perlu memperkerjakan dia di kantor ini, kalau tahu Jenan menaruh hati padanya.