Saya dan Anak kita

“Bangun!” Jordy mengoyakkan tubuh Mentari beberapa kali agar perempuan yang sedang bersembunyi dibalik selimut tebal miliknya terbangun. Namun hingga beberapa detik, Mentari masih saja memejam mata sampai Jordy kesal sendiri. Sudah ia goyangkan tubuhnya, ia tarik selimutnya, Mentari malah terlihat makin pulas.

“Mulai hari ini kamu saya pec—”

“Anjing! Sialan, sialan! Takut banget tolongin, Renjana, gue takut banget. Apaan tuh barusan kenapa pada pake jubah putih! Takut!” Mentari memekik dengan setengah berlutut seraya memeluk Jordy erat-erat. Kepala Mentari menelusup di bahu Jordy, dan ia sama sekali tak mau mengangkat kepalanya.

“Heh, heh, heh, sana!” Jordy mendorong pelan kepala Mentari. “Saya bukan pacar kamu si Renjana.”

“BAPAK?!!!!” Jordy membalas jeritan heboh karyawannya hanya dalam tatapan datar nan malas. Tangannya pun ia lipat di depan dada sebagai bentuk protes pada Mentari yang semena-mena tidur di ranjangnya.

“KOK SAYA BISA DI SINI, PAK?!” Mentari tampak sangat terkejut saat menjalari pandangannya ke seluruh ruangan kamar Jordy yang bernuansa coklat muda dan banyak sekali foto-foto Kirana di setiap sudutnya. Ada foto pernikahan Jordy dan Kirana, ada foto Kirana yang memakai dress putih sembari memegang bunga matahari, persis seperti yang Mentari lihat dalam mimpinya. Mentari terdiam sesaat, mencoba melawan segala perasaan sedih nan haru yang menggandrungi benaknya, namun ia gagal. Air matanya tiba-tiba saja berderai, dan netranya enggan terlepas dari bias wajah anggun Kirana.

Jordy di depan Mentari mengernyitkan dahi. Kepalanya penuh tanda tanya akan sikap Mentari yang kian labil setiap kali ia mengajaknya bicara.

“Saya...” Jordy terenyak seketika intonasi bicara Mentari berubah, persis seperti yang tadi malam ia dengar.

“Gini, gini, Mentari—”

“Nggak inget ya, Dy?”

Jordy mencelos saat Mentari lancang mengecup bibirnya tanpa permisi. Sekali ia lakukan, perempuan itu sempat menghentikan aksinya, ia memandang Jordy sesaat, tangannya mengusap pipi Jordy sebentar. Jordy sama sekali tidak diberi celah oleh Mentari untuk bergerak barang sejenak.

“Mentari!” Jordy berteriak, menepis wajah Mentari yang kian dekat padanya, sekaligus agar perempuan itu sadar, tapi percuma. Bukannya menjauh, kini Mentari malah menangis lagi. Ada helaan nafas frustasi yang keluar dari bibir perempuan itu, tatapannya yang sendu kembali terarah pada Jordy.

“Kangen, Dy. Kangen saat saya masih bisa melihat kamu seperti ini..”

“Kamu siapa sebenernya?! Nama kamu siapa!” Jordy sontak menjauhkan diri sebelum Mentari mengulang aksinya.

“Kamu nggak mengenali saya, Dy?” Perempuan itu mendekat, semakin Jordy melangkah mundur, Mentari berjalan mengikuti gerakannya. Hingga Jordy tak memiliki jalan keluar karena kini Mentari sukses membuatnya terpojok di dekat pintu kamarnya.

“Mentari, saya udah manggil Terry ke sini—” Sesaat Jordy mencoba mendorong tubuh Mentari, Jordy terkesiap. Tubuh perempuan itu terasa sangat dingin, persis seperti yang ia rasakan saat Mentari tiba-tiba datang ke rumah sakit dan menjenguk Aidan.

“Ini...tangan kamu kenapa dingin kayak gini, Mentari? Demam lagi?” Jordy langsung mengambil selimutnya untuk menghangatkan tubuh Mentari. Tapi tunggu. Jordy mulai mencium kejanggalan di sini. Kalau demam, harusnya pipi Mentari merah, bukan? Sayangnya, Jordy tak menemukan tanda-tanda perempuan itu terkena gejala demam. Pipinya tidak merah, justru bibirnya memucat dan nyaris membiru. Karena takut terjadi apa-apa, Jordy segera membuka tarikan nakas kecilnya dan mengambil termometer digital.

Jordy terdiam dengan kerutan dahi yang semakin dalam sebab tiba-tiba saja termometer itu tidak dapat berfungsi padahal baterainya baru ia ganti kemarin. Saat Aidan demam waktu itu, termometernya masih bisa digunakan.

“Mentari, sebentar. Saya izin gendong ke kasur. Kamu harus dikompres.” Dengan gerakan cepat, Jordy memopong tubuh Mentari dan membaringkannya di kasur, lalu usai memastikan Mentari sudah berada dalam selimutnya, ia mengisi air hangat dalam baskom besar.

Sekembalinya dari kamar mandi, Jordy lekas meletakkan kompresan itu pada dahi Mentari.

“Saya nggak butuh dikompres, Ody...” Tangan perempuan itu menggenggam tangan Jordy perlahan. “Saya cuma butuh memeluk kamu kayak gini dan menengok Aidan, anak kita..”

Mata Jordy membulat, terkejut dengan ucapan Mentari yang intonasinya persis sekali dengan Kirana saat mereka sedang mengobrol. Bulu-bulu halus disekitar lengan Jordy merinding seketika saat perempuan itu mengusap dahi dan wajahnya.

Sebab walau sudah dikompres air hangat, tangan Mentari masih saja sedingin tadi.