Saya Kira Saya Menang, Ternyata Kalah

Tentang perasaan yang membuat saya tidak nyaman, dan mencari alasan agar saya bisa menghindar.

“Mas.”

Dia tersenyum di sebelah saya ketika saya membuat keputusan gila.

Keputusan yang menurut saya adalah sebuah kesalahan. Saya pengkhianat, saya jahat.

Sekaligus pada dua orang.

Dia yang sejatinya selalu saya doakan kemanapun saya melangkah. Dan—

Dia yang hari itu saya janjikan kehidupannya.

Tidak ada penyesalan yang saya temukan dari guratan wajahnya. Dia justru tersenyum. Bibir merah mudanya, juga mukanya yang hari itu bahkan tak terpoles riasan—menggoyahkan perjanjian yang telah saya buat dengan ibu Aidan.

Saya kalut sekali. Saya tak berani memandangnya. Setiap netranya bergulir pada saya, saat itu juga saya ingin pergi.

Namun tertahan karena Aidan yang terus-terusan meratapi rundungan temannya.

Aidan segalanya untuk saya. Dia hidup saya, hidup saya dan Kirana. Tentu bahagia Aidan, adalah bahagia saya juga.

Maka dengan sejumput keyakinan, saya bertandang ke keluarga perempuan itu.

Perempuan yang saya anggap gila, tidak normal dan mungkin ia mengidap gangguan mental.

Tanpa ragu sedikitpun saya ucapkan dalam satu tarikan nafas, “saya ingin menikahi Mentari.”

Dalam hati berat sekali mengucapkan kalimat itu. Saya benar-benar tak kuasa menahan amarah yang bergemuruh. Rasanya jika tangan saya punya kemampuan untuk berputar, saya akan meminta tangan saya untuk meninju muka saya sendiri.

Sekeras mungkin. Kalau perlu hingga lebam seperti yang dialami Kirana.

Agar saya bisa tanggung rasa sakit yang ia derita.

Peluh di kening saya tiada henti mengalir, perempuan itu tahu betul jika saya sangat-sangat gugup. Saya mati-matian menyembunyikannya, tetapi entah dari mana perempuan itu tahu jika saya hanyalah pecundang bertubuh besar.

Saya kira saya pemenang, ternyata dialah pemenang yang sebenar-benarnya, disaat saya menebar janji palsu di muka keluarganya, bahwa saya sungguh-sungguh dengannya. Bahwa, dengan segenap hati dan jiwa, saya akan memberikan hidup saya kepadanya.

“Kamu yakin?” tanyanya tanpa sesumbar. Dan saya mengangguk cepat, secepat detak jantung saya ketika jemarinya terselip rapi dibalik jari saya.

“Iya, yakin.” Saya menjawab dengan nada tenang. Padahal kecewa sedang menunjukkan taringnya pada saya kala itu.

“Aku yakin juga sama kamu, walaupun aku tahu..” Perempuan itu menjeda kata-katanya yang semakin membuat saya tertarik pada porosnya.

“Tau apa?” tanya saya.

“Tau kalau kamu nggak cinta sama aku, hehe.”

Senyum tulusnya langsung membuat saya gagal dalam hal menepati janji yang saya buat dengan ibu Aidan.

Dia meringis pelan sembari menahan air matanya. Saya bisa melihat betapa sakit dan patah terpancar jelas di raut wajahnya.

Makanya saya bilang, dia pemenangnya.