“Saya mau peluk Aidan!”

Tepat ketika Jordy tiba di ruang perawatan Mentari, pria itu menemukan Mentari telah melepas semua alat-alat yang terpasang di tubuhnya. Mentari berdiri di sisi kasurnya dengan rambut yang acak-acakan, matanya sembab. Namun sorot mata yang penuh amarah itu terhunus tepat pada Jordy.

“Aidan. Saya mau ketemu Aidan!” Ia menepuk keras kasurnya. “Aidan!” katanya dengan nada m tinggi, sedikit membentak Jordy.

“Kamu tega misahin saya dari Idan!” pelotot Mentari. Jordy yang berdiri di depannya cukup terkejut mendapati amarah Mentari yang tak terkontrol. Lelaki itu reflek memundurkan tubuhnya, menghindari Mentari yang ia takutkan akan menyerangnya tiba-tiba.

“Mentari, tenang. Jangan kayak gini.” Masih dari jarak yang agak jauh, Jordy membujuk wanita itu. Alih-alih berhasil, Mentari malah menangis tersedu-sedu. Ia tersungkur di depan ranjangnya sambil beberapa kali menyebut nama Aidan.

“Idan...” lirihnya pelan, lalu menggumamkan lagu lullaby favorit Aidan, 'you are my sunshine.'

“M-mentari, bisa berhenti nyanyi lagu itu nggak?” tanya Jordy, namun sialnya, Mentari menghardik permintaan Jordy. Ia terus melantunkan You Are My Sunshine, bahkan lebih keras dari sebelumnya.

“Mentari!” seru Jordy dengan harap perempuan itu menghentikan nyanyiannya.

“Saya cuma kangen sama Idan, Ody. Idan selalu datang kalau saya nyanyi lagu ini... Anak saya.. Anak kita kamu kemanain...” Ia menangis lagi. Jordy makin kewalahan saat tangis Mentari pecah, pasalnya suara tangis Mentari cukup membuatnya bergidik. Penuh rintihan dan menakutkan.

“Mentari, tenang dulu. Saya nggak ngerti kenapa kamu terus-terusan bilang Aidan anak kamu, tapi yang perlu saya perjelas di sini adalah, kita bukan suami istri. Kita nggak menikah. Jadi stop geret anak saya. Aidan bukan anak kamu.”

“Aidan anak saya!” Mentari membentak Jordy, dengan sorot mata penuh kecam.

“Oke... oke... Aidan boleh jadi anak kamu, tapi saya minta jangan usik Aidan. Cukup liat dia dari jauh. Don't ever lay your hand on him.”

“Why?” balas Mentari. “He's my son,” sahutnya. “He needs his mom.”

Jordy tertegun mendengar fasehnya Mentari dalam berbahasa inggris. Sepengetahuannya, Mentari pernah bilang kalau kemampuan bahasa Inggrisnya di bawah rata-rata. Ia juga pernah tak sengaja mendengar Mentari membacakan dongeng favorit Aidan—Humpty Dumpty. Dan memang benar, aksen bicara Mentari kala itu terdengar seperti orang Indonesia yang baru belajar bahasa Inggris, berbeda dengan yang ia dengar saat ini—Australian-English, logat kental almarhumah Kirana ketika ia berbicara bahasa Inggris. Dan hal itu membuat Jordy memanfaatkan momen untuk mengetahui personality Mentari yang lain, “May I know who are you?”

“You didn't know me well, huh?” balas Mentari cepat, seringai senyum yang ia perlihatkan pada Jordy cukup menekan lelaki itu. “How could you forget me that fast? Ten years was nothing for you?” Perempuan itu mendekati Jordy.

Sepuluh tahun adalah waktu Jordy dan Kirana saling mengenal. Tujuh tahun pacaran, dan tiga tahun menikah. Dari mana Mentari tahu soal ini?

“You asked me to stay with you, didn't you? So I did. I am here. I keep my promise, unlike you.” Perempuan itu menunjuk-nunjuk dada Jordy dengan telunjuknya.

“Saya nggak pernah bilang apa-apa sama kamu, Mentari. Jangan sembarang bicara,” sahut Jordy.

“Ya, kamu mungkin lupa, Ody. Perlu saya ingatkan kembali?” tanyanya.

“Nggak perlu!” tukas Jordy cepat.

“Well... Saya gak sangka, secepat itu kamu melupakan saya.”

Jordy mengernyitkan alis, bingung. “Mentari, saya tegaskan sekali lagi, kita tidak menikah—”

“Sepuluh Oktober,” sela Mentari. “That's our anniversary date.”

Keringat dingin mulai membasahi dahi Jordy saat Mentari menyebutkan tanggal pernikahannya dengan Kirana. Ia frustasi, tak lagi terlintas dalam pikirnya kalau Mentari sedang sakit. Persetan dengan semua sikap impulsif dan halusinatif yang Mentari tunjukkan. Jordy berada dalam titik terendahnya saat ini. Aidan yang terancam bahaya karena ulah Mentari, juga perempuan itu yang tiada henti membuatnya ketakutan.

“Denger Mentari, saya nggak peduli kamu mau menganggap saya seperti apa, tapi saya minta jangan dekati Aidan. Dia bukan anak kamu, itu yang perlu kamu tau dan sadari.”

“Kalau gitu yang kamu mau, terpaksa saya akan terus ada di sisi ini. I won't let this girl back.”

“What?” Jordy memandangnya heran. “Maksud kamu apa—” Namun sebelum sempat perempuan itu memberikan jawaban, Mentari kembali tak sadarkan diri. Ia jatuh tepat di peluk Jordy.

“Mentari!” Jordy menepuk pelan pipi perempuan itu. “Mentari, bangun,” katanya sekali lagi, tetapi perempuan itu tak memberi respon apapun, kecuali suhu tubuhnya yang kembali sedingin lemari es.