Saya Suami Kamu, Aidan, Anak Kita
Kita bicara di rumah.
Aku menelan ludah ketika kalimat itu terkirim dan muncul di chat room-ku bersama Jordy. Sudah jelas amarah tengah menyelimuti Jordy kali ini, tapi aku tak dapat berbuat apapun karena nasi sudah menjadi bubur. Aku tak tahu kabar Jenan sekarang, terakhir kami berkabar dia hanya memintaku untuk tenang. Gimana bisa dia menyuruhku tenang kalau ia dan rekan kerjanya sendiri bertengkar?
Yang kutakutkan adalah Jordy menjadi brutal cuma karena hal sepele, mengingat aku menyaksikan sendiri betapa marahnya ia saat kakiku terkilir sebelum kami menikah.
Lima belas menit kuhabiskan di kamar Aidan demi mencari cara menenangkan Jordy sesampainya ia di rumah nanti.
Klek.
Namun sepertinya waktuku terbuang sia-sia, Jordy telah berdiri di ambang pintu dengan muka lempeng dan dinginnya seperti biasa.
“Mas,” sapaku pelan.
“Kamu udah tau, kan?” Sesuai dugaan Jordy paling benci basa-basi, ia pasti akan langsung membahasnya.
“Nggak perlu mukul juga, Mas...” kataku mencoba menenangkan marahnya.
“Dan nggak perlu juga dia megang tangan kamu,” balasnya menyindir. Aku ciut kala dia menyahutiku tak kalah sengit. Setelah itu ada jeda yang terasa hambar diantara kami. Aku masih memikirkan cara agar menenangkannya, sedang Jordy, sepertinya mencari cara agar bisa mendebatku.
“Saya nggak suka,” tegasnya. “Mas, aku nggak tau kalo dia bakal megang tanganku—”
“Bukan itu. Masalah itu udah selesai, tadi saya nonjok gak cuma sekali.”
“Harus kamu pake kekerasan kayak gitu?” Tiba-tiba emosiku tersulut. Jordy sempat diam, tapi beberapa detik kemudian ia juga ikut meninggikan suaranya, “Harusnya kamu tau gimana caranya bersikap sebagai seorang istri!”
Aku diam, frustasiku naik lagi. Jika ia mengira aku senang disentuh Jenan, ia salah besar. Aku sama sekali tidak menyukainya. Aku marah juga pada Jenan, tapi saat itu ada perih yang membelenggu perasaanku, terutama ketika Jordy berucap dari atas podium dengan wajah haru,
“Dan, saya juga berterima kasih kepada mendiang istri saya tercinta, Kirana, yang menjadi sumber inspirasi terbesar saya dalam mengerjakan proyek ini. Terima kasih.”
Aku tak tahu lagi jika saat itu bukan Jenan yang di sampingku. Mungkin aku akan lebih membuat Jordy malu karena tangisku akan pecah di depan banyak orang. Yang kupikirkan hanyalah ingin menjaga nama baik Jordy. Aku tak mau mempermalukan suamiku karena memiliki istri cengeng dan penuh drama.
Nafasku tercekat, bibirku kelu untuk mengucap. Kuhela nafas sejenak untuk menenangkan diri, “kamu boleh marah sama Jenan, itu hak kamu, tapi gak perlu pake tangan.”
“Kamu bales perasaan dia sampe segitunya ya?” Ia mencibir.
“Bales apaan sih? Nggak ada! Aku gak pernah bales apapun ke Jenan,” sahutku tak terima.
“Kamu aja yang ga nyadar,” nadanya merendah namun netranya masih penuh kilatan emosi.
“Saya gak suka, tadi saya udah bilang,” katanya tegas, enggan didebat. Lalu bagaimana denganku? Apa aku juga harus mengatakan padanya bahwa aku tak suka dengan pernyataan salah satu rekan artisnya yang bilang bahwa aku menurunkan pamor Jordy? Apa aku sebagai istrinya harus terus menahan perasaan seperti ini?
Tak terasa bulir air mataku pun terjatuh disaat aku belum sempat memeluk Jordy sebentar seperti malam itu, malam ketika aku pertama kali tidur di ranjang yang sama dengan Jordy.
Ia bagai anak kecil yang mencari ketenangan dalam tidurnya, alisnya mengerut, dan wajahnya murung. Pelan ia berkata, “Maafin, Na...Aku cuma mau yg terbaik buat Aidan. I didn't mean to hurt you by marrying someone I don't love.”
“Terus kamu maunya aku ngapain, Mas?” tanyaku tertahan.
“Saya udah pernah bilang ke kamu di awal kita menikah. Fokus kamu cuma dua orang, saya, suami kamu, dan Aidan, anak kita.”
Netranya menatapku sekilas, meski bibirnya berucap tegas namun wajah Jordy mulai melunak. “Saya mau tidur, terserah. Kamu mau tidur di kamar Idan, atau tidur sama saya. Mungkin kamu butuh ketenangan—”
Aku diam, memandangnya lekat. Jauh dalam hati, aku memanjat syukur pada Allah, sebab Ia telah menjawab doa-doaku untuk Jordy.
“Aku mau tidur sama kamu, aku nggak suka tidur sendirian,” sengaja kusela ucapannya sambil memeluknya sebentar
“Kalau nggak boleh, aku tidur—”
“Masuk kamar sekarang, gak pake nanti-nanti,” ia melepas pelukku perlahan.
“Iya,” aku menyahut patuh.