Gladly, She's Home

Sebenarnya saya antara percaya tak percaya dengan penjelasan Bulik Ratih, namun melihat Mentari memejam mata dengan tangan terlipat, ragu dalam benak saya, sedikit terbuang.

Saya perhatikan, buku-buku jarinya memucat dan dingin, kulitnya tiba-tiba menjadi keras seperti kayu, layaknya jenazah. Namun yang aneh, alat perekam detak jantung terus bergerak. Artinya, Mentari masih bernyawa. Saya duduk di sisi sebelah kanan Mentari lalu mengusap puncak kepalanya lembut. Saat itu, saya benar-benar merasa lelah. Baik fisik dan mental. Saya bingung harus percaya sama yang mana, sehingga saya tak lagi punya kekuatan untuk bicara.

Satu-satunya yang bisa saya perbuat ialah mengelus punggung tangan Mentari yang kaku, memijat buku-buku jarinya, agar rasa hangat dari telapak tangan saya mengalir di permukaan kulitnya. Saya memandang wajah Mentari yang pucat pasi, teringat akan kejadian Kirana yang sungguh membuka luka lama.

Saya tidak mau hal itu terjadi lagi pada saya baik Mentari. Saya ingin dia kembali pada saya dan Aidan. Jika apa yang dibilang Bulik Ratih benar, seharusnya sosok ini mengenal saya. Tapi nyatanya, Mentari terus terpejam. Tak ada pergerakan yang signifikan dari tubuhnya.

“Ri, ini saya sama Aidan,” ucap saya berbisik sambil terus membelai puncak kepalanya. “Ini Jordy, suami kamu, dan Idan, anak kita.”

Di kursi tamu ada Chanting, sahabat Mentari. Dia tak berhenti melantunkan ayat-ayat suci yang saya tak mengerti mengapa ia bacakan berkali-kali.

Saya hanya membiarkan Chanting terus membacakan doa sambil berusaha menggenggam ujung tangan Mentari yang dingin. Hingga tak lama, Mentari membuka matanya perlahan dan berkata.

“Pergi.” Matanya kemudian mendelik tajam ke saya, dari arah sebelah Chanting mengeraskan suaranya. Seketika itu tatapan Mentari tertuju pada Chanting.

“Suruh dia berhenti!” Tapi Chanting tak menyerah, ia semakin bersuara lantang melantunkan ayat-ayat itu.

“Ri, ini saya dan Idan..” Saya tetap berusaha menyadarkan Mentari.

“Pergi, saya benci kamu.” Ia tetap kekeuh mengatakan hal yang sama.

“Mamah, ini Idan... Mamah apanya yang sakit, Mah? Mamah kedinginan?”

“Pergi!” Hal yang sama diucapkan Mentari pada Aidan. Herannya anak itu tak gentar sama sekali, ia tetap menyentuh tangan Mentari seperti yang saya lakukan.

”...Audzubillahiminasyaitonirojim bismillahirohmanirohim...”

Aidan tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya ke telinga Mentari dan mengucapkan bait doa yang sama dengan Chanting. Saya yang berada persis di depan Aidan, seketika terhuyung-huyung karena kepala saya mendadak sakit bagai dihantam palu dari belakang.

“Dan..kamu ngapain...” sebelum sempat saya meneruskan omongan, Mentari membusungkan badannya. Matanya membelalak layaknya seseorang yang tercekik sesuatu

“RI!” Chanting bangkit dari kursinya, berlari ke sisi ranjang Mentari.

“MAMAAAAH!” pekik Aidan di sebelah saya

“Astaghfirullahaladzim...” Mentari menangis sesenggukkan sambil memeluk erat Aidan. Dibelainya rambut anak itu, “Dan...maafin Mamah ya, Dan... Maafin Mamah. Idan takut sama Mamah kan pasti? Maafin Mamah, Idan. Maafin Mamah...” lirihnya pelan. Aidan tak bicara apapun selain membalas pelukan Mentari begitu erat.

“Ri...” Mentari melirik saya. “Ini beneran kamu?” tanya saya hati-hati.

Tanpa banyak omong, tangan Mentari menghujani cubitan ringan di lengan saya, pertanda Riri-nya saya, ibu dari anak saya telah kembali. She's now home and safe.

Alhamdulillah.