Sebuah Peringatan
Ingat Apa Tukang Parkir.
Mungkin bagi Chanting cuitannya hanya sebuah lelucon. Tetapi tidak bagiku.
Buatku apa yang Chanting ketik adalah sebuah refleksi atas hubunganku yang baru dimulai.
Baru dimulai dan sebelum terlambat, aku harus cepat-cepat mengakhiri semuanya.
Tapi ketika tekad bulatku telah melingkar sempurna, tangan mungil yang mencoba meraih jemariku menggagalkan rencanaku.
Sepasang mata bundar nan lugunya itu mengoyakkan pendirianku. Dia berada di sebelahku sambil menarik kain bajuku.
Di sana dia bertanya, “Tante Kibow enggak mau jadi Mamahnya Aidan?”
Sudut matanya menyipit, yang disertai senyum hangat tergambar di wajah anak itu, menjadi tamparan keras untukku. “Tante Kibow, kenapa menangis?”
“Idan salah ngomong ya? Tante Kibow, wait. I got you this, Tante. Ini sunflower mungkin bisa bikin Tante happy.”
Demi Tuhan ucapan anak sekecil Aidan bisa-bisanya membuatku luluh lantah. Dia... seperti Papa dalam bentuk yang lebih mungil.
Mungkin Papa tidak memberikan bunga seperti yang Aidan lakukan, tetapi dia selalu menemukan cara unik untuk mengusir sedihku.
Aku balas menatap Aidan seraya menyibak surai hitamnya, “Makasih ya Idan..” Kemudian kuambil bunga matahari di tangannya.
Lelaki di sebelahku melirik kami berdua tanpa ekspresi. “Ya, Dan. Dia bakal jadi mamahmu.”
“Tapi Papi, Papi pernah bilang sama Idan, mami Idan cuma satu... Enggak boleh dua.”
Jordy sontak melirik Aidan, terlihat jelas jika dia sedikit panik. Padahal aku biasa saja, karena aku memaklumkannya.
Toh menikah denganku bukanlah sesuatu yang pernah ia rencanakan.
“Dan, mau makan es krim nggak? Beli sendiri ya, ini Papi kasih duitnya.” Jordy segera mengeluarkan selembar uang dan diberikan pada Aidan, kemudian menoleh padaku kikuk.
Setelah memastikan Aidan menjauh dari kami, Jordy baru menjelaskan. “Saya emang pernah ngomong gitu ke Aidan—”
“Nggak perlu dibahas juga sih, saya ngerti kok,” balasku lalu bergeser dari sisinya.
“Kamu dari kemaren kenapa ya pake saya, saya terus?” Jordy melayangkan protes padaku.
“Ya kan profesional. Bapak yang nulis kok di kontrak kerja,” sahutku realistis.
“Sekarang kita lagi ga kerja, lagi di acara sekolah Aidan,” balasnya enggan mengalah.
“Iya saya paham, Pak,” kataku lalu meninggalkannya untuk menghampiri Aidan yang berjalan ke arahku sambil memegang dua es krim.
“Kok Aidan beli dua?” tanyaku. “Satunya buat Tante Kibow,” jawab Aidan seraya menyodorkan es krim itu ke arahku. “Tante, jangan nangis lagi ya.”
“Enggak kok. Tante udah nggak sedih lagi dong! Kan udah dibeliin es krim sama Idan. Makasih ya, Nak.” Aku sengaja berjongkok, mensejajarkan posisiku dengan Aidan.
Sedang Jordy yang berdiri di belakang kami cuma bergeming.
“Dan, tadi Om Devon ke sini. Abis acara, Idan pulang sama Om Devon ya...”
“Nggak mau. Idan maunya sama Tante,” jawab Aidan sengit. Helaan nafas berhembus pelan dari bibir Jordy. Aku tahu dia berusaha keras untuk memperbaiki hubungan kami.
Tapi apakah karena dia mulai menyayangiku..? Atau hanya sekedar karena ingin mewujudkan mimpi Aidan yang mendamba keluarga utuh?