Sebuah Sikap
“Agak panas ya, Xav mobil lo,” keluh Della sesaat ia daratkan dirinya pada bangku penumpang. Perempuan itu mengibaskan rambut serta melepas kacamatanya. Ia meletakkan tasnya di atas dasbor mobil Xavier. Melihatnya, Xavier melayangkan tatapan malas ke arah Della. Namun sayang, Della tak menyadari netra Xavier terarah lurus kepadanya.
“Tasnya boleh turunin gak ya, Del?” pinta Xavier datar.
“Ah, sori. Iya, iya. Abisnya gue kegerahan, tadi nyari tisu dulu,” ucap Della, mengangkat tasnya dari atas dasbor.
Regina yang sedari tadi belum berkata apa-apa, terperangah mendengar ucapan Xavier. Ia melirik lelaki itu dari balik rear-spion mobil, mendapati wajah Xavier seketika terpasang dingin. Sungguh kontras dengan Xavier yang beberapa jam lalu berangkat ke gereja bersamanya.
“Gue gedein dikit ya AC-nya?” izin Della, mengulurkan tangannya ke pendingin mobil.
“Jangan,” cegah Xavier. “Regina alergi dingin.”
Gadis berkacamata itu langsung menoleh ke belakang, memerhatikan Regina yang tersenyum untuk meminta dimaklumi.
“Emang jaket lo mana, Gin?” tanya Della. “Eh, tapi kan lo udah pake lengan panjang kayak gitu? Emang masih ga cukup anget juga?”
Regina menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Ia bingung harus melontarkan jawaban seperti apa pada Della agar sahabatnya tidak salah paham. Ingin menyalahkan Xavier, tapi hari ini lelaki itu sudah begitu baik kepadanya.
“Ng....”
“Orang alergi dingin sama kedinginan itu beda, Del. Kalau alergi dingin emang gak bisa kena AC. Kalo kedinginan ya beda lagi,” ujar Xavier menjelaskan. Mendengar perkataan Xavier yang terkesan galak, rasanya Regina ingin menenggelamkan dirinya ke dasar jurang. Ia tidak mau Della dirinya menikung Xavier.
Karena sikap lelaki itu amat dingin saat bersama Della. Pantas saja Della bilang kalau penilaian Regina salah besar. Xavier benar-benar tegas nan acuh pada sahabatnya, sedangkan ketika bersamanya, Xavier seakan memberinya perhatian yang semestinya tidak Regina terima.
“Eh, nggak apa-apa. Kalo kepanasan, gedein aja AC lo, Xav.” Regina segera memutar otak demi mencegah terjadinya pertikaian kecil antara Xavier dan Della. Lebih baik ia mengalah, untuk kebahagiaan temannya.
“Boleh gue naikin AC mobilnya...” Xavier menggantungkan kalimatnya di udara. “Tapi ada syaratnya.”
Regina dan Della memandang lelaki itu heran. “Apaaa?”
Xavier mengeluarkan minyak kayu putih dari saku celananya. “Lu pake ini biar alergi lu gak kambuh. Karena ini punya lu.”
XAVIERRRRR!!!!! Regina menjerit panik dalam hati. Matanya langsung terarah pada Della yang nampak kaget setelah mendengar ucapan Xavier.
”...Dan yang kedua, lo pake jaket gue tuh yang ada di sebelah lo. Biar lo tetep ngerasa hangat.”
Della melirik Regina dengan tatapan yang amat sulit Regina artikan. Bisa jadi sahabatnya itu kecewa dan merasa Regina membohonginya.
“Ng...gue pake minyak kayu putih aja,” sahut Regina cepat, demi kemaslahatan bersama dan menghindari kesalah-pahaman yang kian dalam, Regina menolak tawaran Xavier yang terakhir.
“Kalau kenapa-napa bilang sama gue. Jangan sakit.”
Della langsung terdiam mendengar ucapan Xavier pada Regina. Sedikit banyak, kini hatinya mulai dilingkupi rasa sakit yang perih. Bak tergores pisau, nyeri dalam hati Della membuatnya tak percaya jika orang yang ia percayai sebagai teman baiknya, tega menikam dirinya dari belakang.
Sayang, Della tak dapat berkata banyak setelah mendengar ucapan Xavier. Ia harus banyak memupuk kesabaran dan lebih kuat berdoa kepada Santo Rafael, agar lelaki idamannya itu dapat berpaling dari perempuan yang sudah memiliki kekasih.
—