Sembilan — They Need Kirana

“Lo yakin, Jor?” Satu pertanyaan itu terlontar dari bibir tiga sekawan Jordy yang paling tampan, Jenan, mengingat menjadi sutradara adalah kenangan terburuk bagi seorang Jordy. Maka jangan heran, ia memastikan betul kesiapan Jordy dalam mengarahkan pemain.

“Yakin.” Jordy menjawab mantap, dengan tatapan datar. Kala itu, mereka telah berada dalam ruang meeting. Beberapa talent belum sepenuhnya hadir, meski pemain utama sudah di sana.

“Dy, jangan kayak dulu ya, inget.” Teza, yang duduknya persis di sebelah Jordy menepuk pelan bahu pria itu.

“Tenang aja, gue bisa.” Jordy kembali meyakinkan. Tangannya bergerak, merogoh kantung celana sebab ponselnya tiada henti berbunyi.

Putranya, Idan, menelepon.

“Dan, Papi lagi kerja,” bisik Jordy setengah meringis, menahan kesal.

“Pak Jordy, ini saya, Pak Sapto, wali kelas Aidan.”

Sontak Jordy berdiri saking kagetnya. “Ada apa dengan Idan, Pak?”

“Idan bertengkar, dia mukul temannya. Bisa bertemu dengan saya di sekolah?”

Suara ricuh terdengar begitu jelas dari kelas 2B.

Jeritan anak-anak yang semula penuh canda dan tawa, seketika berubah menjadi lautan tangis.

Dari beberapa murid yang berdiri di depan kelas, terlihat Idan, si anak lelaki yang memiliki kulit berbeda dari teman-temannya, berdiri di tengah dengan telunjuk yang mengacung pada mereka.

“Idan bukan anak pungut!” teriak Idan sekuat tenaga membela diri. Tapi alih-alih didengarkan, teman-teman Idan justru makin menertawai ucapannya.

“Masa sih, Dan? Papi kamu ganteng, mami kamu cantik, kok kamunya begini? Papi kamu yang tinggi-tinggi itu kan?” Salah satu teman sekelas Idan malah semakin memperkeruh suasana.

“Nanti ambil rapor yang dateng siapa? Embak kamu? Papi atau Mami kamu?” tambah teman Idan yang lain. Idan yang mendengar pertanyaan itu lantas menjawab lantang, “Yang dateng Papi!”

“Papi kamu enggak malu punya anak bodoh kayak kamu? Masa dapet nilai sepuluh. Satu, Kosong. Hahahahahaha!”

Dada Idan membuncah seketika itu.

Cemoohan teman-temannya membuat Idan tersadar jika saat ini dia tengah menjadi bahan rundungan.

Sebagai anak laki-laki yang dilarang keras menangis oleh ayahnya, Idan sekuat tenaga menahan air mata. Namun ia tak bisa melawan emosi yang tiada henti menghujam dadanya, hingga tanpa berpikir panjang, Idan melayangkan pukulan ke wajah temannya itu dan membuat bibir dan hidungnya berdarah.

“PAK SAPTO!!!! IDAN MUKUL YOSUAAAAA! IDAN NAKAL!!!! IDAN JAHAAT PAAKK!”

Idan yang masih terkungkung emosi, terus memukuli temannya sampai dia merasa puas. Ditariknya kerah anak itu sambil dikecam, “Idan enggak bodoh! Kamu yang bodoh! Kamu yang tolol! Nilai kamu seratus tapi kamu buka buku!”

Setelahnya, Idan mendorong anak itu hingga dia jatuh tersungkur ke tanah.

“Papi bilang apa sama Idan?” tanya Jordy saat ia telah berada di mobil, berdua dengan sang putra.

“Nggak boleh nakal,” jawab Idan lemah. “Tapi dia duluan Pi, yang nakal! Dia bilang Idan bodoh!” sahut anak itu.

“Apapun itu, Idan,” sela Jordy. “Kamu memukul temanmu. Kamu kira itu bagus? Sama aja. Sama aja kamu bodoh kayak mereka.”

Idan terdiam kala menatap muka ayahnya yang terpasang dingin. Ayahnya melengos, menatap jalan raya dengan tatapan datar. Dan Idan sangat ketakutan setiap kali sang ayah memasang wajah seperti itu. Karena itu berarti Jordy sedang betul-betul marah padanya.

“Play station, Papi sita. Idan harus belajar,” gumam Jordy saat mobilnya berbelok menuju komplek rumahnya.

“Tapi...Idan bosen belajar terus, Pi...” rengek Idan memohon belas kasihan ayahnya.

“Kamu harus belajar, Idan!” Jordy meninggikan suara. “Kamu udah dapet nilai jelek, nggak mau belajar. Mau jadi apa kamu? Mau gak naik kelas?” bentak Jordy.

Lagi-lagi Idan hanya bisa terdiam mendengar omelan ayahnya. Dia sadar betul jika ia memang tak belajar pada saat itu, karena materinya yang sulit. Sementara, setiap kali Idan ingin belajar dengan sang ayah, lelaki itu selalu menjawab

“Idan, Papi ini bukan Mami yang bisa ngajarin kamu. Belajar sendiri, kan Idan udah gede.”

Selalu seperti itu, maka jangan heran untuk beberapa mata pelajaran, nilai Idan selalu merah.

“Dan satu lagi, besok Idan harus minta maaf sama Yosua. Denger?”

“Nggak!” balas Idan sambil melipat tangan. “Idan kesel sama Yosua, dia bilang Idan anak pungut! Bukan anak Papi-Mami!”

“Idan...” Jordy menarik nafas dalam-dalam, mencari segala jalan agar putranya tak tumbuh menjadi pemberontak. “Idan, kamu yang salah. Kamu mukul temanmu.”

“Tapi dia ngehina Idan! Idan nggak suka!” sahut Idan keras kepala.

Jordy memijat kepalanya yang mulai terasa pening. Sepertinya, ia memang tak akan bisa mengurus Idan sendirian. Dia butuh Kirana. Bukan dia, tapi mereka berdua butuh Kirana.