Sepuluh lewat tiga puluh, aku mendaratkan diri pada bangku putar di belakang meja resepsionis. Memastikan semua tamu yang hari ini telah mendaftar ada di dalam buku catatan. Dari setiap halaman yang kuperiksa, ada satu lembaran yang membuat daksaku menetap.
Tamu Jordy Hanandian.
Devianti Recha — Mertua Bapak Jordy Hanandian.
Bahkan disaat kami akan melangsungkan pernikahan, aku belum mendapat celah apapun untuk menyelami hatinya.
Air mataku sontak menetes tepat di atas nama “Devianti.” Bohong bila aku merasa tenang, nafasku tercekat dalam waktu singkat. Sesak yang tadi bersembunyi kini menjalari hati. Aku lekas membalik halaman berikutnya. Dan nama berikutnya adalah milik Jenan.
Tamu Jenan Syailendra.
Nihil.
Hari ini ternyata Jenan tidak dijadwalkan menerima tamu. Pantas saja lelaki itu tak berseliweran di depanku. Biasanya, setelat-telatnya Jenan, jam setengah sebelas dia sudah menampakkan diri.
Tak lama sosok yang tak kusangka muncul. Seorang perempuan paruh baya yang wajahnya cukup mirip dengan almarhumah Kirana. Sama-sama memiliki tahi lalat di pangkal hidung. Bahkan auranya pun sebelas-dua belas, anggun dan sedikit terlihat angkuh.
“Ody ada?”
Ody.
Ulangku dalam hati. Entah mengapa saat bibir wanita itu menyebut Jordy dengan panggilannya, dadaku gemetar hebat. Rasanya tangisku tak lagi bisa kuelakkan.
“Belum datang, Bu,” sahutku pelan. “Kalau begitu, biar saya duduk di sini.”
“Silakan. Mau minum apa, Bu? Biar saya bilangin pantry?” tawarku kemudian.
“Kamu pasti pegawai baru,” tandasnya membingungkan. Matanya menyipit, lalu ia bangkit ke depan meja resepsionis. “Semua pegawai di sini, tahu mama mertua Jordy seneng minum apa. Emang kamu nggak di briefing dulu sebelumnya?”
Aku sangat terkejut mendengar ucapannya yang sedikit menghakimi. Dari awal aku bekerja di kantor ini, tidak ada seorangpun yang memberitahu siapa sosok ibu mertua Jordy, apalagi minuman kesukaannya.
“Maaf, Bu. Iya. Saya baru beberapa bulan di sini,” kataku mengalah. Ia berdecih, “pantes.” Lalu netranya bergulir mencari karyawan lain. “Didi mana? Bisa panggilin? Dia tau minuman kesukaan—”
“Hai Tante.” Suara baritone itu adalah ciri khas Jenan yang dulu selalu membuatku tersipu. Tapi kini...
“Jenan? Hai! Makin ganteng banget kamu, Je. Sekarang pacarnya siapa? Udah lama lho, Tante nggak liat kamu.” Jenan tertawa lebar kemudian sekilas melirikku. Ngapain dia ngeliat gue dah? Aku bertanya-tanya dalam hati.
“Mau fokus sama karier dulu, Tan,” jawab Jenan sopan.
“Nunggu Jordy ya? Duduk aja dulu. Dia masih lama kayaknya,” kata Jenan memberitahu.
“Emang Jordy ke mana, Je?” tanya wanita itu.
“Tadi sih dia bilang ke makamnya Kirana, Tan.”
Begitu mendengar penuturan Jenan, aku tak sengaja menggoreskan jari pada gunting yang terletak di ujung meja. Alhasil keduanya sontak menatapku yang menjengit menahan perih.
“Eh, mana? Saya tadi minta panggilin Didi lho. Kok kamu kerjanya gak becus banget ya?” protesnya.
Bisa dibayangkan betapa Jordy menjadi menantu kesayangan keluarga Kirana. Wajar saja sih, secara dia memang gagah dan tampan. Ibu-ibu tak akan mampu melawan pesonanya.
“Ah, iya. Sebentar ya, Bu.” Aku langsung menekan tombol extention menuju pantry, mengabarkan jika ada orang penting yang bertamu.
“Ya, Mbak Riri?” Lelaki yang bernama Didi itu akhirnya menjawab. “Di, ada mertuanya Pak Jordy. Katanya pengen ketemu kamu.”
“Minta minum itu, Mbak. Sebentar ya, tak bikinkan dulu.”
“Oke, makasih ya, Di—”
“Tangan lo kenapa?” tanya Jenan. Dua alisnya mengkerut, khawatir.
“Kena pisau, Pak. Gak apa-apa, nanti aja. Temenin Ibu mertua Pak Jordy dulu,” ucapku meliriknya sopan.
“Sini, tangannya,” perintah Jenan tak suka dibantah.
“Gak apa-apa, Pak. Beneran.” Aku sengaja menarik tanganku yang nyaris disentuh Jenan. Entah mengapa setelah ia minta maaf waktu itu, aku merasa agak canggung dengannya. Selebihnya, karena fokusku pecah ketika menatap Jordy yang baru datang dan langsung memeluk mama dari Kirana.
Tatapannya yang sangat tulus hebatnya justru meluluhlantahkan perasaanku.
Sejak ia berikrar di depan Bulik akan menikahiku, tak pernah Jordy memberi tatapan tulus itu pada keluargaku.
Sedikitpun.
“Maaf Ma. Tadi Ody nyekar dulu ke makam Kirana,” katanya, melepas peluk erat itu.
“Iya, Nak. Nggak apa-apa. Makasih ya kamu masih sering nyekar ke makam Kirana. Oh iya, Aidan nanti dirayain dimana ulang tahunnya? Mama belum dapet undangannya lho, Dy.”
Jordy tersenyum kecil, lalu menatapku sekilas. Ia berjalan ke arahku tanpa memedulikan Jenan di sebelahnya. “Undangannya masih ada?”
“Ada, Pak.” Aku merogoh tasku dan menyerahkan undangan bertema mobil pada Jordy.
“Ini, Ma. Oh iya, mau ke atas? Ada yang mau Ody obrolin,” ajaknya tak lama kemudian.
“Iya, ayo. Mama sudah lama nggak ngobrol sama kamu, Dy.”
Perempuan itu mengekor Jordy dari belakang. Tersisalah aku yang meringis menahan tangis bukan karena lukaku yang mulai terasa perih melainkan laki-laki yang dengan tegasnya memintaku untuk menjadi ibu dari anaknya.
—