Sesaat Jordy tiba di rumah, ia disambut oleh aroma pedas yang cukup menusuk hidung hingga membuatnya terbatuk-batuk. Netranya terarah tepat pada Mentari yang ternyata kembali ke dapur, menghangatkan beberapa makanan yang ia masak. Padahal bisa saja Mentari menghangatkannya dengan microwave, namun sang puan berkehendak lain dan memilih jalur yang lebih sedikit repot.

Jordy melangkah sangat pelan, ia berusaha keras agar tapak kakinya tidak mengejutkan Mentari. Ia hanya ingin duduk di ruang makan, menunggu istrinya untuk makan bersama. Tak ada seruan Aidan yang biasa meramaikan suasana rumah, Jordy sendiri tak tahu dimana anak itu berada. Jika ia lihat jadwal Aidan, seharusnya ia sudah pulang sekolah. Tapi tas ranselnya pun tak terlihat oleh Jordy. Lelaki itupun memutuskan untuk beranjak dari tempat duduknya, mencoba mengajak Mentari bicara baik-baik. Perempuan yang untuk pertama kalinya menampilkan rambut keriting ikal miliknya itu masih sibuk mengoseng beberapa makanan di panci hingga tak menyadari jika Jordy telah berdiri di belakangnya.

“Uhuk!”

Hampir saja spatula yang Mentari pegang terbang bebas mengudara. Ia cukup tersentak kala mendengar seseorang terbatuk di belakangnya. Sontak, perempuan itu mematikan kompor dan hexosnya, segera ia menghadap belakang.

“Oh, pulang,” gumam Mentari acuh lalu berjalan ke ruang makan.

“Saya pulang siang,” ujar Jordy pelan.

“Terus?” sahut Mentari kemudian.

“Idan mana?” tanya Jordy yang tentunya kehabisan topik untuk membahas sesuatu yang ringan sebelum ia benar-benar meminta maaf.

“Les,” jawab Mentari semakin singkat. Perempuan itu beranjak dari kursi, lalu mengambilkan piring yang ia sendokkan nasinya.

“Kamu masak banyak gini buat apa?” Jordy tahu kali ini pembahasannya semakin tak berguna. Terkesan maksa dan canggung.

“Buat dimakan, emang buat apalagi?” Mentari kembali duduk. “Kalo gak suka ikan sama udang, bisa makan yang lain.”

“Kamu abis nangis?” tanya Jordy bodoh. Mentari diam dan hanya melanjutkan makannya.

“Mentari...”

“Nanti makanannya aku taro kulkas,” jawab istrinya dingin.

“Saya nanya baik-baik, kamu malah ngalihin topik,” sudut Jordy. Mentari merapatkan bibir, sadar jika kata-kata yang akan keluar dari mulutnya akan jauh lebih menyebalkan dari respon sebelumnya, perempuan itu memutuskan untuk tidak menanggapi ucapan Jordy.

“Aku udah minta Erna pesenin makanan buat kamu.”

“Saya makan masakannya, tapi jangan marah lagi.”

“Udah dipesenin juga!” kesal Mentari yang membuat Jordy tersentak. Wajah istrinya makin merengut kesal setelah itu.

“Terus kamu maunya apa? Diajak ngomong baik-baik saya gak ditanggepin,” Jordy menghela nafas pasrah. Sedari tadi di kantor, masalah ini membuatnya tidak dapat bekerja produktif. Setiap membaca naskah, pertikaian mereka semalam selalu melintas dalam pikirnya.

Sebungkus rokokpun tak berguna. Tetap saja Jordy resah dan memikirkan pertengkaran hebat mereka, maka itu ia putuskan untuk pulang dengan harap bisa mengajak Mentari bicara baik-baik.

“Maaf, Mentari. Maaf sekali lagi,” ujarnya penuh penyesalan.

“Gak perlu minta maaf sama aku, minta maaf sana sama Idan,” ketusnya sambil berlalu meninggalkan Jordy. Lelaki itu menyusul sang istri yang telah sampai lebih dulu ke kamar anaknya.

“Idan bilang kamu nangis,” ucap Jordy menghalangi Mentari masuk ke kamar.

Mentari memandangnya dingin. “Terus menurut kamu, aku harus ngapain? Ketawa-tawa?” sinisnya.

“Jangan marah, Mentari. Saya udah gak tau lagi harus gimana ngomong sama kamu, tadi kerja di kantor pun saya gak bisa konsen.”

“Nyalahin aku?” Mentari menyahut kesal.

“Enggak...” Jordy menjawab pasrah, ia mengetukkan kakinya, gelisah. “Besok saya ada award.”

“Terus?”

“Ya ikutlah kamu, masa saya sendiri perginya?”

“Aku mikir dulu, mau ikut apa enggak.”

“Ya udah, sekalian mikir maafin saya apa enggak ya.”

“Kalo yang itu nggak tau!” Mentari menutup pintu kamar Aidan keras.