Shaka, Suaminya Anya
Perjalanan dari SCBD menuju Plaza Indonesia Anya tidak pernah semenakutkan itu sebelumnya. Bahkan sampai didukung oleh langit Jakarta yang mendadak kelabu hingga membuat Anya meragu. Apakah ia harus membatalkan pertemuan ini karena ucapan suaminya tadi malam?
Hingga pagi menjelang, Shaka masih enggan mengajaknya bicara. Dan hal ini sungguh berbekas dalam hati Anya. Shaka jarang sekali sampai semarah ini pada Anya, walau lelaki itu sering menegur dirinya.
Gara-gara cekcok kemarin, Anya pun mempertanyakan kualitasnya sebagai seorang pendamping untuk Shaka. Apakah ia memang mumpuni, atau jangan-jangan takdir menuliskan ia menjadi ibu tunggal bagi dua orang putri? Anya sungguh tak dapat membayangkan, jika suatu saat ia harus merasakan pahitnya perpisahan. Anya tidak mau itu terjadi. Ia ingin Shaka menjadi pelabuhannya yang terakhir.
Anya tahu pasti Shaka sedang teramat kesal padanya. Yang diajaknya bicara hanya Nora, sedangkan ketika melihat Anya, Shaka menghindar. Ia langsung menyeruput kopi panas kesukaanya yang ia buat sendiri. Tak seperti biasa, Shaka pasti akan meminta Anya yang membuatkan kopi untuknya.
Pertengkaran itu bahkan mempengaruhi Anya. Ia jadi sulit konsentrasi, perutnya keram, dan pinggulnya pegal seperti ditimpa besi beton.
Tetapi Anya tak mau menunjukkannya pada Shaka. Ia menyimpannya sendiri. Saat tiba di kantor, Anya lekas-lekas menempelkan koyo pada pinggulnya, dan meminum vitamin yang diberikan dokter agar stamina Anya terjaga.
Anya...hanya tidak mau sang suami kepikiran akan kondisinya.
Ketika sampai di Plaza Indonesia, Anya langsung menuju Osteria Gia yang telah ditentukan oleh kliennya. Di sana, ternyata Harris sudah menunggu. Lelaki itu tampak gagah dalam balutan jas bermerk dan sabuk mahal yang mengikat pinggangnya. Namun dari semua pesona yang ditebar oleh Sang Don Juan, Anya justru terlihat was-was saat Harris datang dengan sebuket bunga mawar.
Nggak ada kapok-kapoknya nih orang... decak Anya dalam hati.
“Saya nggak tau alamat rumah kamu, Nya. Jadi saya kasih on the spot aja.” Dengan sekilas senyum menawannya, Harris menyodorkan bunga itu ke arah Anya.
“That's very beautiful.” Satu suara dari arah belakang, mengejutkan Anya dengan tiba-tiba. Bukan hanya Anya, tetapi juga laki-laki di depannya. Mata Harris membulat ketika bertukar pandang dengan sosok yang berdiri di belakang Anya.
Sosok itu mengulurkan tangan pada Harris. “Siang, Pak Harris. Kenalin, saya Shaka. CEO NCIT. Suaminya Anya.”
Tanpa ragu-ragu, Shaka langsung menerima bunga dari kliennya, dan mengecup pelipis Anya sambil tersenyum.
Astaga Aka...aku salah nilai kamu. You're the best husband ever. Anya melirik Shaka, hangat. Dan ketika tangan Shaka turun, lelaki itu dengan cepat mengisi jari-jari Anya dengan jarinya sendiri.
“Oh. Iya. Senang bertemu dengan Anda, Pak Shaka,” balas Harris, tersenyum kikuk.
Pemandangan itu membuat Anya hampir saja tidak bisa menahan tawa. Karena sekali Shaka melempar pandangan pada Harris, laki-laki itu terlihat tak nyaman. Sepertinya Shaka memang telah merencanakan ini sebelumnya. Bahkan dengan sengaja Shaka memperlihatkan PDA-nya di hadapan Harris. Mulai dari mengelus pundak, menggenggam tangan Anya, sampai elusan di perut Anya yang membuncit.
“Saya dengar dari istri, katanya Bapak sudah close deal ya? Saya terima kasih sekali atas ketersediaannya bekerja sama dengan kami,” ujar Shaka, menyeruput minuman hangat yang tersedia.
“Benar sekali, Pak Shaka. Saya baru saja membahas rencana berikutnya untuk investasi dan pencairan reksadana dengan Bu Anya,” kata Harris.
“Kalau gitu, bisa dibicarakan dengan saya, Pak. Sekalian aja,” sahut Shaka. “Karena istri saya beberapa bulan ke depan akan rehat di rumah. Persiapan lahiran,” ucap Shaka selanjutnya. Anya di samping Shaka, sangat kehilangan kata-kata tatkala menatap tatap getir yang terpancar dari netra Harris. Jelas tergambar jika lelaki itu sangat tidak nyaman dengan kehadiran Shaka.
“Oh iya, iya. Hahaha.” Bahkan dari suara tawanya, Anya bisa merasa jika Harris hanya tertawa untuk sekedar menutupi kegugupannya saat Shaka melirik mata lelaki itu.
Selanjutnya, Anya melihat tangan Shaka tergerak. Sang suami memberikan kartu nama pada Harris. “Bunganya yang kemarin cantik banget, Pak. Sayangnya istri saya lebih suka white rose, soalnya putih kayak dia.”
Mendengar ucapan yang keluar dari Shaka, Anya sampai memukul pelan paha suaminya. Sebab dalam sekejap, air muka Harris tampak tegang.
“Saya berterima kasih sekali, ada klien kami yang seperhatian Bapak. Saladnya juga enak. Kalau boleh, kapan-kapan makan bareng sama saya, Pak. Gimana?”
Saat disinggung terang-terangan, wajah Harris memerah detik itu juga. Kalut. namun berusaha tenang di depan Shaka. Anya di sebelah Shaka pun sama tegangnya kala mendengar ucapan sang suami.
“Saya tunggu undangannya ya, Pak,” kata Shaka, mengangkat gelas wine-nya dan mengajak Harris bersulang.
Sambil melonggarkan dasinya yang sangat menyekat lehernya, Harris mengangkat gelas wine itu, kemudian menerima ajakan Shaka. “Boleh, boleh, Pak. Untuk Bu Anya, semoga lancar lahirannya. Kalau saya boleh tau, jenis kelaminnya apa, Bu?”
“Perempuan, Pak.” Anya menjawab dengan senyum.
“Pasti cantik seperti ibunya,” puji Harris sambil melirik Anya sekilas. Ia tak berani menatap Anya lama-lama, saat Shaka menatapnya datar.
Situasi ini sungguh persis dengan Gavrel saat pertama berkenalan dengan Shaka. Bedanya, Harris tidak sampai ngompol seperti Gavrel.
Namun dari sini, Anya amat terpukau dengan pesona yakuza yang dimiliki Shaka. Laki-laki saja segan padanya, apalagi Anya yang dalam sepersekian detik langsung jatuh hati pada Shaka dalam dua kali pertemuan.
—