She is wanted
Yogyakarta.
Wanita paruh baya terlihat duduk bersila di sebuah ruang gelap. Tak ada siapapun di sana, hanya ada ia seorang dan beberapa hadiah yang berisi bunga kasturi, melati dan sebagian panganan pasar.
Wanita itu dalam heningnya, melirih pada Yang Maha Kuasa, agar semua sanak keluarganya terlindung dari berbagai gangguan. Ia terus khusyuk berdoa, sampai gemercik air dari luar terdengar. Angin dingin berembus kuat di belakang tengkuknya, namun wanita ini tetap memejam mata, menyerahkan sepenuhnya pada Yang Di Atas.
Tetapi tampaknya kuasa kegelapan tak gentar mengganggu. Selalu saja, setiap ia ingin melantunkan nyanyian doa dan mantra, seluruh tubuhnya gemetar hebat. Perlawanan diadakan meski tak ada yang berserakan. Dia bukan siapa-siapa, tapi leluhurnya berkuasa.
“Opo karepmu?” Perempuan itu melantang. (Apa maumu?) Yang diajaknya bicara hanya diam sesaat, namun air mukanya terlihat bengis. Kedua mata merahnya menyalak, namun wanita itu tetap tenang dan enggan terinterupsi oleh kedatangannya.
“Kulo bade dahar...ambek ngombe....” Suara itu melirih kemudian tertawa keras di telinga sang puan. Jelas namun sukses menaikkan segala bulu halus di lengannya. (Aku ingin makan...dan minum...)
“Lungo!” Ia menjerit penuh amarah. (Pergi!)
“Ojo ngganggu!” teriaknya sekali lagi.
“Kulo teko kanggo wedhok kuwi... De'e pengantinku!” Tak ingin kalah, suara itu bergemuruh, juga dengan beberapa sajen yang disediakan di lantai. Tiba-tiba, jatuh berantakan.
“De'e dudu milikmu! Kowe ki' demit, tempatmu dudu neng kene! Mbiyen, wis tak omongi, de'e ki menungso, dudu seko bangsamu.” (Dia bukan milikmu, kamu ini jin. Tempatmu bukan dari sini, dulu sudah aku bicarakan. Dia manusia, bukan dari bangsamu)
Namun semakin sang perempuan menantang, suara itu kian menggelegar. Lantai yang menjadi alasnya seketika bergetar. “Kulo mboten peduli! Kulo njaluk wedho kuwi! Tak kirim kabeh pengikutku, njogo ing ngarepe griyané!” (Aku tidak peduli, aku mau anak perempuan itu. Pengikutku sudah kukirim untuk jaga di depan rumahnya!)
Tepat ketika suara itu menjawab, perempuan itu membelalakkan matanya. Nafasnya tercekat. Segera ia bangkit berdiri meninggalkan ruangan sunyi itu dan memanggil suaminya.
“Paaaak, Paaaaak, kita harus ke Jakarta malam ini! Riri dalam bahaya, Pak! Bangun toh, Pak. Pesen tiket malem ini juga!”
—