She's Getting Stronger

56 Kilogram adalah mimpi terburuk dalam hidup seorang Mentari Ovellie Gaudina.

Lihatlah dagu tebal yang bergelambir di pantulan kaca itu. Apakah itu benar-benar aku? Belum lagi lipitan lemak yang terlihat sesak di bagian lengan. Pipiku yang melebar seluas Sungai Kapuas. Kalau gini caranya, mukaku mau ditaruh dimana saat sarapan bareng Jenan nanti, Ya Allah?

Berkali-kali aku mematut diri di depan kaca, berkali-kali pula aku merutuki nasibku. Sudah sakit, jelek, gendut pula. Masih ada laki-laki yang bersedia menikahiku nanti nggak ya?

Rasanya aku ingin melimpahkan semua kesedihanku pada Jordy. Karena dia yang mendekamku disini. Mau minta pertolongan Renjana, tapi hasil diagnosaku keburu keluar. Mau menangis pun rasanya percuma. Yang bisa kulakukan hanyalah berjuang agar kondisiku betul-betul membaik.

Seperti yang sudah dijanjikan Terry, jika hari ini kondisiku tak begitu parah, aku boleh rawat jalan. Awalnya aku sangat senang mendengarnya, itu berarti aku bisa menghirup udara bebas, menghabiskan waktu dengan berkaraoke ria bersama Chanting. Aku sampai melonjak gembira ketika Chanting mengabariku bahwa ia telah memesan salah satu booth karaoke dekat kosan kami. Tetapi... sayangnya mimpi itu harus gugur hanya dalam satu jentikan jari.

Si Otoriter, Jordy Hanandian meminta Terry untuk menuliskan surat dokter agar aku rehat beberapa hari. Yang artinya, janjiku dengan Jenan terancam batal; aku tidak bisa karaokean dengan Chanting, dan yang terparah, aku harus bertatap muka dengan tembok di kosanku, dibawah pengawasan Jordy Hanandian.

Dia pikir aku putrinya yang berusia enam belas tahun apa? Mentang-mentang semua perawatanku dia yang bayar, dia jadi semena-mena dalam hidupku!

Saat membaca pesan Jordy yang terpampang di layar ponselku, aku dengan cepat melewatinya. Membalas iMess Jenan untuk memperbaiki moodku.

“Pagi, Riri!” Dari balik daun pintu, seorang laki-laki berkacamata mengulaskan senyum terbaiknya padaku. Sosok yang beberapa minggu ini, tak pernah absen memeriksa fase manik dari DID-ku.

Terry, orang terpercaya Jordy.

“Pagi, Ter.” Aku menyapa seadanya. Jujur, aku agak malu bila harus bertatap muka dengannya. Ia mungkin agak terganggu melihat bentuk tubuhku yang gempal ini.

“Gak mau ganti baju aja?” Dengar pertanyaannya barusan? Aku ngerti maksud Terry baik. Tapi entah mengapa aku sedikit sensitif mendengar nada bicaranya yang seolah mengatai bentuk badanku. Iya, aku tahu kok, lemakku berkumpul di lengan, dagu dan pipi.

“Iya, abis ini. Mau ngecek ya?” Aku terpaksa menekan amarahku. Berpura-pura menerima pertanyaan barusan dengan lapang dada.

“Iya,” jawab Terry, mengangguk. Kemudian lelaki itu mengambil catatannya, bersama dua perawat yang senantiasa menemaninya setiap melakukan kunjungan pasien.

“Oke, silakan.” Aku sedikit menggeser tubuhku dengan susah payah.

“Hahaha, gak usah dipaksa gitu. Pelan-pelan aja.”

Sialan. Kupikir dia baik dan ramah, ternyata sama persis dengan koncoannya, Jordy. Yang membedakan hanyalah friendly gesture-nya yang menjebak betina-betina haus kasih sayang sepertiku. Begitu dia tertawa, aku sengaja memutar bola mata, memasang wajah masam agar dia sadar jika omongannya sebagai seorang psikiater telah menyinggung pasiennya.

“Ri?” Terry memandangku heran lalu mengulum bibirnya. Kurasa aksiku berhasil. Dia sadar dengan perbuatannya.

“Ya?” jawabku.

“Nggak apa-apa kok gendut begini, kamu keliatan lebih luc—”

No! Nafasku mendadak tercekat sesaat Terry menghentikan ocehan tak bergunanya itu. Netra Terry terdistraksi oleh sesosok lelaki yang wujudnya belakangan menggandrungi isi kepalaku.

Si otoriter, si paling berkuasa se-dunia perfilman Indonesia, Hanung Bramantyo. Eits, Bukan dong.

JORDY OTORITER RADJASA HANANDIAN.

Makin lengkap deh penderitaanku hari ini.

“Pas banget, Jor!” Teman sekongkolannya menyambut kedatangan Jordy dengan senyum pepsodent. Tapi tidak dengan dua perawat perempuan yang kelihatannya tertipu oleh pesona duda anak satu itu. Mereka saling menyikut satu sama lain, berbisik tertawa-tawa lucu, seolah agar di-notice Jordy. Sayangnya, lelaki yang mereka impikan itu justru menjatuhkan tatapannya tepat ke...

Bentuk tubuhku yang mirip beruang madu.

“Apa?” Aku menyalak lebih dulu, sementara Jordy berpura-pura berdeham karena takut beruang madu sepertiku menyerangnya balik.

“Saya nggak mau komen apa-apa.” Ia membela diri, dan aku mendengus sebal.

“Udah, udah, Ri, Jor.” Terry di sebelah Jordy mencoba mendamaikan kami. Setelah emosiku agak membaik, barulah Terry mulai menjelaskan prosedur tes kesehatanku. “Ri, saya kasih lima detik untuk melihat Jordy ya. He will approach you. Kalau kamu merasa nggak enak, bilang ya.”

Tepat setelah Terry berkata demikian, Jordy selangkah demi selangkah berjalan ke arahku. Aroma tubuhnya yang amat asing justru membuat kepalaku bermain. Sakit sekali. Wangi parfum dengan aroma kayu namun manis, membuat dadaku sesak sekaligus membuncah. Air mataku siap mengalir saat itu, namun sekuat tenaga, aku menahannya.

Daripada aku mendekam dibalik tembok bisu di rumah sakit ini. Alhasil, mataku hanya berkaca-kaca, tetapi tidak demikian dengan kepingan-kepingan potret yang terlintas sekejap dalam ingatanku.

Tawa, peluk dan air mata. Ada sentuhan tangan yang menjalar di atas punggung tangan milik Jordy. Dua bibir ranum yang menyatu, saling beradu penuh luka dan rindu.

Sosok perempuan yang persis sekali dengan almarhumah istri Jordy juga muncul tepat di depanku.

Dia menangis, meraung pilu, penuh sesal dan merintih meminta pertolongan.

Katanya;

“Pinjamkan tubuhmu...biarkan saya menetap sebentar bersama anak dan suami saya. Tolong, saya mohon sekali...Wangi yang ia pakai hari ini adalah parfum kesayangan saya...Dia butuh saya...” . . .

“Ri! Mentari, apa yang kamu ingat, Ri? Apa?”

Saat aku terbangun, aku sudah tak menemukan sosok menyedihkan itu berlutut di depanku sambil menangis sesenggukkan, menggenggam kedua tanganku. Dia hilang, entah ke mana.

Dan yang sekarang ada di depanku...

“Kamu nggak apa-apa?”

Jordy. Tangannya mengusap dahiku yang bercucuran dipenuhi keringat. “Mentari, tadi kamu tiba-tiba pingsan. Kamu kenapa?”

“Pak...” jawabku dengan suara parau. “Parfum yang Bapak pake itu, kesukaan almarhumah istri Bapak?”

Dia diam, tapi jelas raut wajahnya cukup terkejut mendengar pertanyaanku.

“Dari mana kamu tau?”

“Saya mimpi dia lagi, Pak...” Aku meremas tangannya pelan. “Saya takut, Pak. Saya takut...”

Dan tak perlu menunggu lama, tangisku pecah dalam sekejap.

“Ri, dia bilang apalagi?” Terry menimpali.

“Dia bilang...” Nafasku tercekat. Entah mengapa disaat aku hendak memberi jawaban atas pertanyaan Terry, dadaku terasa sangat sakit sekali. Tanganku sampai berusaha menggapai salah satu obat penenang yang diresepkan Terry, karena aku merasa sangat tidak tenang. Sekujur tubuhku terasa dingin, dan bibirku seakan ingin berteriak kencang, tapi aku menahannya sekuat tenaga.

“Mentari!” Jordy di sebelah, terdengar panik saat aku mencengkram lengannya sekuat tenaga.

“Pak, tolong saya...diluar...banyak yang nangis-nangis, minta tolong sama saya. Sama kayak almarhumah istri Bapak...Mereka bilang mau minjem tubuh saya. Pak, saya takut. Saya takut, Pak...”