She's Just Tired
“Ri.” Saya cepat-cepat menyingkirkan ponsel saat mendengar suara decit pintu bergema. Langkah gesekan sandal yang menyentuh lantai membuat saya langsung beranjak duduk, menatap dalam Mentari yang baru saja kembali dari kamar Aidan.
“Sini dulu,” bujuk saya lembut. Tapi Mentari dan kerasnya setiap kami bertengkar tak pernah bosan membuat saya kalut. Sejak awal ia masuk kamar hingga duduk di sebelah saya, Mentari enggan bicara.
“Tadi pagi saya buru-buru, Ri. Gak sempet liat kotaknya warna apa,” saya mencoba menerangkan.
Namun lagi-lagi Mentari cuma diam. Membuat kepala saya bertambah pening.
“Ri.” Kalau dengan omongan tak berhasil, maka peluk adalah jalan selanjutnya.
“Maaf ya, Sayang.”
“Bisa nggak sih, sehari aja nggak ganggu aku istirahat? Aku capek.” Mentari melepas ikatan tangan saya dari pinggangnya.
“Saya cuma mau ngejelasin daripada kamu tambah marah.” Saya bela diri.
“Keliatannya gimana? Malah tambah buruk kan?” Saya tak pernah paham dengan isi kepala Mentari selain overthinking tentang saya.
Apa surat waktu itu belum cukup valid baginya?
“Terserah kamu deh, Ri.”
Dia diam, tapi diamnya makin membuat perasaan saya tidak karuan.
Mentari membalik posisi tubuhnya memunggungi saya. Dalam sejarahnya kami tidur sekamar, ini adalah kali pertama ia tidur sambil membelakangi saya. Biasanya sebesar apapun cekcok mulut kami, Mentari selalu berusaha menyelesaikannya dalam semalam.
”...Saya beneran salah ambil, Ri.”
“Khilaf?” tanyanya tak percaya.
Saya mengangguk.
“Khilafnya terus-terusan,” sindirnya dengan senyum tipis.
Saya sontak meraup wajah sendiri. Disentil sama istri, siapa yang gak kepikiran?
“Sayang...” “Aku udah bilang, Mas Jordy,” lirihnya pasrah. “Ga perlu kamu paksain. Kalau emang gak bisa, ya jangan–”
Saya membalikkan tubuh Mentari, menatap perempuan itu lekat lalu mengecup bibirnya kilat.
“Enough.” Ia menjauhkan wajahnya seketika.
“Saya harus gimana supaya kamu percaya sama saya, Ri?” keluh saya frustasi.
“Ga harus ngapa-ngapain. Dan jangan ajak aku ngomong malem ini.” Ia membuat keputusan.